Sabtu, 01 Februari 2014

Tentang anak-anak yang mengalami penyimpangan perkembangan (anak berkebutuhan khusus) yang mengikuti pendidikan di SD umum (regular).



Saat ini pemerintah DKI Jakarta sedang gencar-gencarnya mencanagkan diri sebagai provinsi pendidikan inklusif. Seperti yang termuat dalam BERITAJAKARTA.COM “Sebagai bentuk perhatian terhadap pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus (ABK), Pemprov DKI Jakarta mencanangkan diri menjadi provinsi pendidikan inklusif. Dengan pencanangan ini, ke depan Pemprov DKI Jakarta menargetkan setidaknya akan menjadikan 7.000 sekolah reguler menjadi sekolah inklusif, dengan rincian 2.600 sekolah negeri dan 4.400 sekolah swasta yang tersebar di ibu kota. Kepala Dinas Pendidikan (Disdik) DKI Jakarta, Taufik Yudi Mulyanto mengatakan, kini DKI Jakarta terus mengembangkan pendidikan inklusif. Yakni pendidikan yang tidak membedakan anak berdasar kondisi fisik dan mental.”[1]
Lantas apakah yang disebut dengan anak berkebutuhan khusus itu sebenarnya? Menurut Jamaris, individu berkebutuhan khusus adalah individu yang memiliki ciri-ciri khusus di dalam perkembangannya yang berbeda dari perkembangan secara normal. Penyimpangan perkembangan tersebut dapat berbentuk penyimpangan intelegensi, yaitu intelegensi di bawah normal yang dikenal dengan individu penyandang retardasi mental, atau intelegensi di atas normal yang dikenal individu superior dan gifted.[2]
Saat ini pemerintah sedang gencar-gencarnya muntuk mensosialisasikan anak-anak yang yang berkebutuhan khusus tersebut untuk bisa mengenyam pendidikan formal sama seperti anak-anak normal lainnya yang bersekolah di sekolah umum. Dan sekolah-sekolah yang menerima dan mau memberi kesempatan bagi anak-anak istimewa ini disebur sekolah inklusif.
Mendapatkan pendidikan yang layak adalah hak semua warga negara baik bagi mereka yang dikarunia kehidupan normal dan mereka yang mendapatkan anugerah kekurangan dari Tuhan YME. Oleh karenanya pendidikan tidak harus diskriminasi dan mengakomodir pluralitas baik  masalah sosial maupun fisik. Sekolah menjadi tempat untuk mendapatkan pengetahuan  dimanapun berada tanpa memandang bentuk fisik. Sejalan dengan Hak Asazi Manusia (HAM) bahwa pendidikan adalah hak dari seluruh manusia oleh karenanya sekolah harus menyediakan tempat bagi mereka yang memiliki kebutuhan khusus, yang tentunya tenaga pendidik dan kurikulum menyesuaikan dengan kebutuhan mereka.
Menurut penulis, kita harus bisa menerima keberadaan dan kehadiran mereka yang memiliki kebutuhan khusus dengan baik, karena ini merupakan bentuk kebhinekaan. Pemerintah dalam hal ini Dinas Pendidikan harus menyediakan layanan khusus. Demikian juga kepada para siswa untuk dapatnya membantu dan menerima mereka menjadi bagian dalam kehidupan mereka sehari-hari.
Dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 70 Tahun 2009 tentang Pendidikan Inklusif Bagi Peserta Didik Yang Memiliki Kelainan Dan Memiliki Potensi Kecerdasan Dan/Atau Bakat Istimewa Pasal 1”Dalam Peraturan ini, yang dimaksud dengan pendidikan inklusif adalah sistem penyelenggaraan pendidikan yang memberikan kesempatan kepada semua peserta didik yang memiliki kelainan dan memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa untuk mengikuti pendidikan atau pembelajaran dalam satu lingkungan pendidikan secara bersama-sama dengan peserta didik pada umumnya”.[3]
Inclusive education, menurut UNESCO pendidikan inklusif mengandung arti bahwa sekolah perlu mengakomodasi kebutuhan pendidikan semua anak dengan tidak menghiraukan kondisi fisik, intelektual, sosial, emosional, bahasa, dan kondisi-kondisi lainnya. Anak-anak normal, anak-anak berkebutuhan khusus (disable dan gifted), anak-anak yang memiliki latar belakang bahasa dan etnik minoritas, anak-anak jalanan, anak-anak yang bekerja, dan anak-anak yang berasal dari keluarga tudak mampu; anak-anak di daerah terpencil atau anak-anak dari suku yang berpindah-pindah serta anak-anak yang berasal dari kondisi yang kurang beruntung lainnya perlu mendapat akses terhadap pendidikan. Oleh sebab itu, pendidikan inklusif merupakan realisasi dari komitmen yang berkaitan dengan educational for all seperti yang dicanangkan oleh UNESCO.[4]
Pendidikan inklusif menjadi isu global karena jenis pendidikan ini memberikan respon terhadap perbedaan latar belakang dan kebutuhan anak dengan jalan memberikan kesempatam pada semua anak untuk berpartisipasi dalam pendidikan. Dengan demikian menurut penulis, eksklusifitas dalam pendidikan dapat diminalisasi. Dalam penerapannya, pendidikan inklusif dilakukan dengan berbagai cara, diantaranya memberi kesempatan kepada anak kerkebutuhan khusus untuk bersekolah di sekolah umum. Oleh sebab itu, pendidikan inklufis memberikan peluang untuk memindahkan anak berkebutuhan khusus yang tadinya bersekolah di sekolah khusus atau ada di rumah dan tempat-tempat lainnya untuk bersekolah di sekolah umum.
Menurut penulis dengan adanya pendidikan inklusif tidak berarti bahwa sekolah-sekolah khusus yang telah ada dan dibutuhkan oleh individu-individu berkebutuhan khusus lainnya ditutup. Hal yang penting dalam menyelenggarakan pendidikan inklusif adalah memodifikasi sarana dan prasarana, kurikulum, proses pembelajaran, dan proses evaluasi hasil belajar yang dapat mengakomodasi kebutuhan individu berkebutuhan khusus yang bersekolah di sekolah umum. Melalui berbagai kegiatan tersebut maka pendidiakn inklusif memberikan kesempatan kepada semua anak untuk meraih kesuksesan melalui pendidikan. Melalui pendidikan inklusif, anak-anak berkebutuhan khusus dapat kemajuan di bidang keterampilan sosial dan kompetensi khusus yang dimiliki mereka.


[2] Martini jamaris, op.cit., h. 261.
[3] Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 70 Tahun 2009 tentang Pendidikan Inklusif Bagi Peserta Didik Yang Memiliki Kelainan Dan Memiliki Potensi Kecerdasan Dan/Atau Bakat Istimewa, Pasal 1.
[4] UNESCO, The Salamanca World Conference on Special Needs Education: Access and Quality, UNESCO and the Ministry of Education (Spain, Paris: UNESCO, 1994).

variasi individual dan diversitas sosio-kultural



BAB I
PENDAHULUAN

A.      Latar Belakang
Manusia sejak dahulu telah menjadi bahan pembicaraan manusia itu sendiri karena keunikannya. Unik dalam arti fisik dan jiwanya. Dikatakan demikian, karena di dunia ini tidak ada dua individu yang identik atau sama persis, meskipun kedua individu tersebut kembar. Setiap orang, apakah ia seorang anak atau seorang dewasa, dan apakah ia berada di dalam suatu kelompok atau seorang diri, ia disebut individu. Individu menunjukkan kedudukan seseorang sebagai orang perorangan atau perseorangan. Sifat individual adalah sifat yang berkaitan dengan orang perseorangan. Ciri dan sifat orang yang satu berbeda dengan yang lain. Perbedaan ini disebut perbedaan individu atau variasi individual. Perbedaan individual menyangkut variasi yang terjadi pada aspek fisik maupun psikologis.
Di sisi lain, pendidikan sebagai salah satu budaya manusia, sekaligus sebagai cabang ilmu sosial sangat berkepentingan terhadap kajian variasi individual. Sebab, dengan meletakkan perbedaan individu sebagai salah satu landasannya, proses pendidikan akan tepat sasaran. Dikatakan demikian karena proses pendidikan itu hakikatnya bersinggungan langsung dengan individu-individu. Bagaimana mungkin sebuah proses pendidikan akan berhasil guna dan berdaya guna manakala fitrah manusia yang memiliki perbedaan diabaikan. Perbedaan ini melingkupi banyak hal termasuk perbedaan sosio kultural.
Perbedaan sosial atau yang lebih dikenal dengan perbedaan status sosial merupakan pengelompokan orang-orang berdasarkan jabatan, pendidikan, dan karakteristik ekonomi. Status sosial orang tua akan sangat berpengaruh pada lingkungan dan pendidikan anaknya. Pada orang tua dengan status sosial rendah akan berdampak pada rendahnya tingkat pendidikan yang dituntaskan, begitu pula sebaliknya.
Selain perbedaan sosial, perbedaan lain yang juga menyita perhatian adalah perbedaan kultural atau perbedaan budaya. Culture atau budaya merupakan hasil dari interaksi sebuah kelompok tertentu dengan lingkungannya dalam waktu yang cukup lama. Budaya yang berbeda memiliki ekspektasi pendidikan dan perkembangan yang berbeda pula. Sebagai contoh, remaja pelajar di kawasan Amerika memiliki lebih banyak waktu luang karena mereka hanya memiliki sedikit pekerjaan rumah dibandingkan dengan remaja pelajar di kawasan Asia.
Dengan menyadari sekaligus menghargai perbedaan-perbedaan individu ini, proses pendidikan akan lebih berarti. Bisa jadi modernisasi pendidikan seyogyanya diawali dengan kesadaran akan variasi individual yang memiliki kelebihan, dan atau kelemahan masing-masing. Oleh karena itu, kini muncul istilah-istilah seperti CTL (Contextual Teaching and Learning), life skill, pendidikan multikultural, dan lain-lain yang berorientasi pada perbedaan individu. Berdasarkan pemaparan di atas, penulis bermaksud mengangkat pembahasan mengenai variasi individual dan diversitas sosio kultural.





B.       Permasalahan
Adapun permasalahan yang akan dibahas adalah sebagai berikut:
1.        Apakah yang dimaksud dengan individu dan apa saja karakteristiknya?
2.        Apa sajakah variasi individual itu?
3.        Bagaimana mengatasi variasi individual dalam proses pembelajaran?
4.        Apakah yang dimaksud dengan diversitas sosio kultural dalam pendidikan?
5.        Bagaimana cara mengantisipasi perbedaan sosial budaya?

C.      Tujuan
Tujuan dari penyusunan makalah ini adalah sebagai berikut:
1.        Untuk mengetahui apakah yang dimaksud dengan individu dan apa saja karakteristiknya.
2.        Untuk mengetahui apa sajakah variasi individual itu.
3.        Untuk mengetahui bagaimana mengatasi variasi individual dalam proses pembelajaran.
4.        Untuk mengetahui apakah yang dimaksud dengan diversitas sosio kultural dalam pendidikan.
5.        Untuk mengetahui bagaimana cara mengantisipasi perbedaan sosial budaya tersebut.





BAB II
PEMBAHASAN

A.      Individu dan Karakteristiknya
1.        Pengertian Individu sebagai Peserta Didik
Fatimah menyebutkan bahwa istilah individu berasal dari kata individera yang berarti satu kesatuan organisme yang tidak dapat dibagi-bagi lagi atau tidak dapat dipisahkan. Individu merupakan kata benda dari individual yang berarti orang atau perseorangan.[1] Sedangkan menurut Sunarto dan Hartono, individu berarti tidak dapat dibagi (undevided), tidak dapat dipisahkan; keberadaannya sebagai makhluk yang pilah, tunggal dan khas.[2] Sejak lahir, manusia merupakan kesatuan jasmani dan rohani yang unik dan berbeda dengan manusia lainnya, yang secara terus menerus mengalami pertumbuhan dan perkembangan. Istilah pertumbuhan digunakan untuk menyatakan perubahan kuantitatif mengenai aspek fisik dan biologis, sedangkan perkembangan digunakan untuk perubahan yang bersifat kualitatif mengenai aspek psikis atau rohani.
Dalam bidang pendidikan, siswa atau peserta didik yang melakukan kegiatan belajar atau mengikuti proses pendidikan disebut sebagai individu.[3] Sebenarnya, yang terlibat dalam proses pendidikan tidak hanya siswa, tetapi juga guru dan para petugas pendidikan lainnya. Namun, karena siswa merupakan subjek pendidikan, siswalah yang disebut sebagai individu peserta didik.
Setiap individu dikatakan sebagai peserta didik apabila ia telah memasuki usia sekolah. Usia 4-6 tahun di taman kanak-kanak, usia 6 atau 7 tahun di sekolah dasar, usia 13-16 tahun di SMP, dan usia 16-19 tahun di SMA.[4] Jadi, individu sebagai peserta didik adalah anak yang tergolong atau tercatat sebagai siswa di dalam sebuah satuan pendidikan.

2.        Karakteristik Individu sebagai Peserta Didik
Setiap individu memiliki ciri dan sifat atau karakteristik bawaan (heredity) dan karakteristik yang diperoleh dari pengaruh lingkungan.[5] Karakteristik bawaan merupakan karakteristik keturunan yang dimiliki sejak lahir, menyangkut faktor biologis maupun faktor sosial psikologis. Sebaliknya, karakteristik yang diperoleh dari pengaruh lingkungan merupakan hasil interaksi individu dengan sekitarnya. Apa yang dipikirkan dan dikerjakan oleh seseorang, atau apa yang dirasakan oleh seorang anak, remaja, atau dewasa merupakan hasil dari perpaduan antara karakteristik bawaan dan pengaruh lingkungan.
Akan tetapi, pengaruh lingkungan nampaknya berpengaruh lebih besar terhadap keberhasilan atau kegagalan peserta didik di sekolah dan pada masa-masa perkembangan selanjutnya. Hal ini dikarenakan karakteristik yang berkaitan dengan perkembangan faktor biologis cenderung lebih bersifat tetap, sedangkan karakteristik yang berkaitan dengan faktor psikologis lebih mudah berubah karena dipengaruhi oleh pengalaman dan lingkungan.
Seorang bayi yang baru lahir merupakan hasil dari dua garis keluarga, yaitu garis keluarga ayah dan garis keluarga ibu. Sejak terjadinya pembuahan dan konsepsi kehidupan yang baru itu secara berkesinambungan dipengaruhi oleh banyak dan bermacam-macam faktor lingkungan yang merangsang. Masing-masing perangsang tersebut, baik secara terpisah atau secara terpadu dengan rangsangan yang lain, semua membantu perkembangan potensi-potensi biologis demi terbentuknya tingkah laku manusia yang dibawa sejak lahir. Sunarto dan Hartono menyebutkan bahwa hal itu akhirnya membentuk suatu pola karakteristik tingkah laku yang dapat mewujudkan seseorang menjadi individu yang berkarakteristik berbeda dengan individu-individu lain.[6]

3.        Variasi Individual
Telah diuraikan di muka bahwa tiap individu memiliki ciri-ciri yang khas, yang berbeda satu dengan yang lainnya. Walaupun secara sepintas seorang individu menunjukkan persamaannya dengan individu-individu yang lain, tetapi secara lebih mendetail dapat dikatakan bahwa tidak ada dua individu yang identik atau persis sama. Perbedaannya hampir meliputi segenap aspek kehidupan individu.
Individu berbeda dalam kecerdasan, bakat, dan kecakapan-kecakapan hasil belajarnya; berbeda pula dalam sikap, minat, emosi, perasaan, motif serta penghayatannya akan nilai-nilai; juga berbeda dalam kecakapan dan keterampilan fisik dan sosial.[7] Garry dalam Sukmadinata mengategorikan variasi individual ke dalam bidang-bidang berikut:[8]
1.        Perbedaan fisik: usia, tingkat, dan berat badan, jenis kelamin, pendengaran, penglihatan, dan kemampuan bertindak.
2.        Perbedaan sosial termasuk status ekonomi, agama, hubungan keluarga, dan suku.
3.        Perbedaan kepribadian termasuk watak, motif, minat, dan sikap.
4.        Perbedaan intelegensi dan kemampuan dasar.
5.        Perbedaan kecakapan atau kemampuan dasar.

Perbedaan-perbedaan tersebut berpengaruh terhadap perilaku peserta didik baik di rumah maupun sekolah. Gejala yang dapat diamati adalah bahwa mereka menjadi lebih atau kurang dalam bidang tertentu dibandingkan dengan orang lain.
Sunarto dan Hartono juga merumuskan variasi individual dilihat dari berbagai aspek yag dijelaskan secara rinci sebagai berikut:[9]
1)        Perbedaan Kognitif
Menurut Bloom, proses belajar, baik di sekolah maupun di luar sekolah, menghasilkan tiga kemampuan yang dikenal sebagai taksonomi Bloom, yaitu kemampuan kognitif, afektif, dan psikomotorik. Kemampuan kognitif merupakan kemampuan yang berkaitan dengan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi. Pada dasarnya, kemampuan kognitif merupakan hasil belajar. Sebagaimana diketahui bahwa hasil belajar merupakan perpaduan antara factor pembawaan dan pengaruh lingkungan (faktor  dasar dan ajar). Tingkat kemampuan kognitif tergambar pada hasil belajar yang diukur dengan tes hasil belajar.
Intelegensi (kecerdasan) sangat berpengaruh terhadap kemampuan kognitif seseorang. Antara kecerdasan dan kemampuan kognitif berkorelasi tinggi dan positif, sehingga semakin tinggi kecerdasan seseorang, maka akan semakin tinggi pula kemampuan kognitifnya.
2)        Perbedaan dalam Kecakapan Bahasa
Kemampuan berbahasa merupakan kemampuan seseorang untuk menyatakan buah pikirannya dalam bentuk ungkapan kata dan kalimat yang penuh makna, logis, dan sistematis. Kemampuan berbahasa tersebut sangat dipengaruhi oleh faktor kecerdasan dan faktor lingkungan. Faktor-faktor lain yang juga penting adalah faktor fisik, terutama organ berbicara.
3)        Perbedaan dalam Kecakapan Motorik
Kecakapan motorik atau kecakapan psikomotorik merupakan kemampuan untuk melakukan koordinasi kerja saraf motorik yang dilakukan oleh saraf pusat untuk melakukan kegiatan. Seorang individu yang semakin dewasa menunjukkan fungsi-fungsi fisik yang semakin matang. Hal ini berarti ia akan mampu menunjukkan kemampuan yang lebih baik dalam banyak hal, seperti kekuatan untuk mempertahankan perhatian, koordinasi otot, kecepatan berpenampilan, keajegan untuk mengontrol, dan resisten terhadap kelelahan. Dari kenyataan ini dapat dinyatakan bahwa semakin bertambahnya usia seseorang, berarti akan semakin matang sehingga mampu menunjukkan tingkat kecakapan motorik yang semakin tinggi.
4)        Perbedaan dalam Latar Belakang
Dalam suatu kelompok siswa pada tingkat manapun, perbedaan latar belakang dan pengalaman mereka masing-masing dapat memperlancar atau menghambat prestasinya, terlepas dari potensi individu untuk menguasai bahan pelajaran. Pengalaman-pengalaman belajar yang dimiliki anak di rumah mempengaruhi kemauan untuk berprestasi dalam situasi belajar yang disajikan. Latar belakang keluarga, baik dilihat dari segi sosio ekonomi maupun sosio cultural adalah berbeda-beda. Demikian pula lingkungan sekitarnya, baik lingkungan sosial maupun lingkungan fisik akan memberikan pengaruh yang berbeda-beda.
5)        Perbedaan dalam Bakat
Bakat merupakan kemampuan khusus yang dibawa sejak lahir. Kemampuan tersebut akan berkembang dengan baik apabila mendapatkan rangsangan dan pemupukan secara tepat. Sebaliknya, bakat tidak dapat berkembang sama sekali, manakala lingkungan tidak memberikan kesempatan untuk berkembang, dalam arti tidak ada rangsangan dan pemupukan yang menyentuhnya. Dalam hal inilah makna pendidikan menjadi penting artinya.
6)        Perbedaan dalam Kesiapan Belajar
Di depan telah diuraikan, bahwa perbedaan latar belakang keluarga dan lingkungan mempunyai pemngaruh terhadap belajar. Perbedaan latar belakang tersebut, yang meliputi perbedaan sosioekonomi dan sosiokultural, amat penting artinya bagi perkembangan anak. Akibatnya, anak-anak pada usia yang sama tidak selalu berada pada tingkat kesiapan yang sama dalam menerima pengaruh dari luar yang lebih luas, dalam hal ini pelajaran di sekolah. Dengan demikian, perbedaan-perbedaan individu itu tidak saja disebabkan oleh keragaman dalam rentang kematangan tetapi juga oleh keragaman dalam latar belakang sebelumnya.
Kondisi fisik yang sehat, dalam kaitannya dengan kesehatan dan penyesuaian diri yang memuaskan terhadap pengalaman-pengalaman disertai rasa ingin tahu yang amat besar terhadap orang-orang dan benda-benda, membantu berkembangnya kebiasaan berbahasa dan belajar yang diharapkan. Sikap apatis, pemalu, dan kurang percaya diri, akibat dari kesehatan yang kurang baik, cacat tubuh, dan latar belakang yang miskin pengalaman, mempengaruhi perkembangan, pemahaman, dan ekspresi diri.


4.        Mengatasi Variasi Individual dalam Proses Pembelajaran
Pengelompokan peserta didik perlu dilakukan untuk mengatasi variasi individual dalam proses pembelajaran. Pengelompokan yang dimaksud adalah penyatuan beberapa individu yang memiliki kesamaan karakter dan sifat untuk tujuan tertentu. Dikatakan untuk tujuan tertentu karena perilaku individu tidak selalu memiliki tingkat kesamaan fungsi dan arah walaupun memiliki karakter yang sama atau hampir sama. Jadi kesamaan yang dimaksud adalah kesamaan berdasarkan kedekatan tujuan, minat, dan bakatnya.
Setiap individu memiliki kemampuan, minat, dan bakat yang dapat dikelompokkan guna menunjang efektifitas pendidikan. Setiap individu juga memiliki tingkat kemampuan intelektual dan kognitif yang dapat dikelompokkan terutama bidang pengetahuan sehingga proses pendidikan dapat lebih efisien. Bagi individu yang memiliki kesamaan cacat fisik, (baik cacat mental, maupun cacat fisik) dapat dikelompokkan untuk memberi peluang agar mereka tidak terhambat dalam memperoleh pendidikan. Keterampilan-keterampilan individu yang bersifat spesifik nantinya akan dikelompokkan sesuai dengan jenis keterampilannya. Hal ini tentu akan membantu penyelenggaraan program pendidikan yang sangat terbatas kemampuannya dalam melayani setiap kebutuhan individu.
Pendidikan segregatif atau terpisah-pisah atau terbagi-bagi merupakan sistem pendidikan yang menciptakan kompetensi dan unggulan-unggulan yang memberi keleluasaan kepada individu untuk bersaing, memilih, atau melakukan upaya pencapaian prestasi sesuai dengan kemampuan, minat, bakat, dan kondisi fisik masing-masing. Pendidikan segregatif bersifat inklusif, menguntungkan peserta didik yang memiliki bakat serta keunggulan (gifted and talented), termasuk anak yang memiliki ketunaan atau cacat, dan yang mengalami kesulitan belajar. Dengan jalan ini, variasi individual dalam proses pendidikan dapat diantisipasi.

B.       Diversitas Sosio Kultural
Kita masing-masing lahir sebagai manusia yang hidup di tengah-tengah pergaulan manusia. Namun demikian, kita juga tidak mengenal secara rinci karakter manusia itu. Ungkapan “tidak ada manusia yang sama” meskipun mereka lahir kembar. Apalagi jika diingat manusia itu jumlahnya miliaran. Walaupun begitu, manusia sebagai mahluk hidup yang ada di tengah-tengah manusia lain (lingkungan sosial) dan dalam konteks budaya (lingkungan budaya), di samping memiliki sifat-sifat yang berbeda, juga memiliki hal-hal yang sama selaku manusia, mahluk hidup, bgian dari alam serta sebagai ciptaan Tuhan.
Manusia sebagai ciptaan Tuhan, tidak dapat ditelaah hanya sebagai fenomena alam semata-mata, dan sebagai mahluk yang berakal juga tidak dapat ditelaah hanya sebagai fenomena budaya. Dalam diri manusia selaku makhluk, melekat fenomena alam dan juga fenomena budaya. Hal inilah yang menjadi keunikan manusia.
Sebagai individu, manusia merupakan kesatuan jasmani dan rohani yang mencirikan otonomi dirinya. Dalam proses pertumbuhan jasmani dan perkembangan rohani, manfaat kemampuannya secara alamiah bagi kepentingan individu sendiri. Namun dalam konteks sosial selaku makhluk sosial, pertumbuhan dan perkembangan indvidu tersebut pemanfaatannya tidak hanya untuk kepentingan pribadi, melainkan juga untuk kepentingan bersama, kepentingan masyarakat. Bahkan pertanggungjawaban perilaku dirinya, juga tidak hanya tertuju kepada individu yang bersangkutan, melainkan juga tertuju kepada masyarakat.
Manusia sebagai mahkluk hidup yang dikaruniai akal-pikiran yang berkembang dan dapat dikembangkan juga mendapat julukan sebagai individu budaya. Keunikan ini telah membawa pertumbuhan dan perkembangan manusia yang berbeda dengan makhluk hidup  lainnya, bahkan juga perkembangan ruang muka bumi yang menjadi tempat hidup serta sumber daya yang menjaminnya. Oleh karena itu, perilaku manusia ini menuntut tanggung jawab terhadap budaya yang menjadi bagian dari kehidupan manusia sendiri.
Dalam sistem budaya, selain manusia berkreasi dalam mengembangkan akal-pikiranya yang menghasilkan kebudayaan, manusia juga berinteraksi dengan sesamanya. Oleh karena itu, manusia sebagai makhluk budaya, tidak dapat melepaskan diri dari konteks budaya yang mempengaruhi, membatasi, dan bahkan mengembangkan kehidupannya sendiri. Manusia selain hidup dalam “lingkungan budaya”, juga berinteraksi dengan lingkungan tersebut.
Pada proses sosial dalam bentuk interaksi sosial, manusia tidak terlepas dari konteks sosial yang disebut “lingkungan sosial”. Lingkungan yang terakhir ini besar sekali pengaruhnya terhadap pembentukan pribadi individu. Ungkapan vonis sehari-hari dimasyarakat, misalnya seperti istilah “salah lingkungan”, jelas ditujukan kepada lingkungan sosial. Ke dalam lingkungan sosial ini termasuk keluarga, teman sepermainan, para tetangga, dan demikian seterusnya.
Sosiokultural terbentuk dari dua kata, sosial dan kultural. Sosial berasal dari kata Latin socius yang berarti “kawan atau masyarakat”, sedangkan kultural berasal dari colere yang berarti “mengolah”. Colere berasal dari bahasa Inggris yaitu cultur yang diartikan sebagai segala daya upaya dan kegiatan manusia dalam mengubah dan mengolah alam.
a.    Diversitas Status Sosial Ekonomi Individu dalam Masyarakat
Sebagian besar negara mempunyai banyak subbudaya. Salah satu cara yang paling umum untuk mengkategorisasikan subbudaya melibatkan status sosial ekonomi. Status sosial ekonomi merujuk pada kategorisasi orang-orang menurut karakteristik ekonomi, pendidikan, dan pekerjaan mereka. Di Amerika Serikat begitu pula di Indonesia, status sosial ekonomi mempunyai impplikasi penting untuk pendidikan. Individu-individu yang status sosial ekonominya rendah , rering kali mempunyai tingkat pendidikan dan kekuatan yang rendah untuk mempengauhi institusi masyarakat (seperti sekolah) dan sumber ekonomi yang lebih sedikit.
1)   Tingkat Kemiskinan di Indonesia
Dalam sebuah negara yang dilanda berbagai macam krisis yang berkepanjangan, seperti di Indonesia ini, timbulnya kesenjangan sosial yang sangat dalam antara kelompok masyarakat yang miskin dan kaya adalah suatu kenyataan yang sulit dihindari. Keadaan seperti ini kemudian menyebabkan timbulnya berbagai kelompok sosial dalam masyarakat itu sendiri. Perbedaan kelompok sosial ini merupakan salah satu bentuk dan bagian dari stratifikasi sosial.[10]
Menurt Ainul Yaqin, stratifikasi sosial itu sendiri, sebenarnya merupakan akibat ketidaksamaan posisi dan tempat secara sosial di dalam masyarakat yang berbentuk pengkategorian yang berbeda-beda, sehingga kesempatan untuk mendapatkan akses tertentu seperti sosial, ekonomi, dan politik menjadi berbeda. Stratifikasi sosial ini adalah sebuah fenomena sosial. Sebual label stratifikasi sosial bukan merupakan karakter yang dibawa manusia sejak lahir atau disebabkan oleh kekuatan supranatural yang datang dari luar kemampuan manusia. Stratifikasi sosial lebih merupakan akibat dari perbuatan manusia yang dilakukan sekarang atau masa lalu. Dapat juga dikatakan bahwa generasi-generasi awal kita menyebabkan keberhasilan atau kehancuran generasi akan datang.[11] Menurut Webber menjelaskan bahwa di dalam stratifikasi sosial itu terdapat tiga unsur pokok, yaitu: class, status, and power.[12]
Masalah utama yang dihadapi negara berkembang seperti Indonesia, pengangguran dan kemiskinan. Apabila kedua masalah ini dapat ditekan serendah-rendahnya, maka sedikit demi sedikit negara ini akan dapat menjauh dari berbagai krisis yang ada.
Tabel dibawah ini menjelaskan fluktuasi jumlah masyarakat miksin di Indonesia dari tahun 1970 sampai 1999.
Tabel Jumlah Penduduk Miskin Per-Lima Tahunan Mulai 1970-1999
No.
Tahun
Penduduk Miskin
Jiwa (Juta)
(%)
1.
1970
70.00
60
2.
1976
54.20
40,08
3.
1980
42.30
33,31
4.
1984
35.00
21,64
5.
1987
30.00
17,42
6.
1990
27.20
15,08
7.
1993
26.90
13,67
8.
1996
22.50
11,34
9.
1998
49.50
24,20
10.
1999
79.40
39,10
Sumber: BPS 1998.
2)   Keadaan Siswa-siswa dari Latar Belakang Status Sosial Ekonomi yang Rendah
Anak-anak dari keluarga miskin seringkali menghadapi masalah-masalah di rumah dan di sekolah yang membahayakan pembelajaran mereka. Tinjauan terbaru perihal lingkungan kemiskinan dalam masa kanak-kanak, menyimpulkan bahwa bila dibandingkan dengan rekan-rekan mereka yang lebih beruntung  secara ekonomi, anak-anak miskin mengalami hal-hal malang berikut:
·      Mereka dihadapkan “pada lebih banyak kekacauan keluarga, kekerasan, pemisahan dari keluarga mereka, intstabilitas, dan rumah tangga yang kacau-balau.
·      Dukungn sosial dan orang tua mereka kurang responsif dan lebih otoriter.
·      Jarang membaca, lebih sering menonton televisi, dan mempunyai lebih sedikit akses untuk buku dan komputer.
·      Mendpatkan sekolah dan fasilitas pengasuhan anak yang buruk dan orang tua yang “kurang terlibat dalam aktivitas sekolah anak-anak mereka”.
·      Udara dan air yang lebih tercemar dan rumah yang “lebih padat, lebih berisik, dan memiliki kualitas yang lebih rendah”.
·      Lingkungan sekitar yang lebih berbahaya dan buruk secara fisik dengan layanan kota yang kurang memadai.
Dua studi berikut ini mengilustrasikan bagaimana kemiskinan secara negatif dapat mempengaruhi pembelajaran dan perkembangan:
·      Satu studi membandingkan lingkungan bahasa rumah dari anak-anak berusia 3 tahun yang berasal dari keluarga yang sejahtera dan profesional. Semua anak berkembang secara normal dalam hal belajar berbicara dan mempelajari semua bentuk bahasa Inggris serta kosakata dasar. Namun, ada perbedaan besar yaitu sedikitnya jumlah bahasa yang diketahui anak-anak dan tingkat perkembangan bahasa yang akhirnya dicapai anak-anak. Orang tua profesional berbicara lebih banyak dengan anak-anak mereka dibandingkan dengan orang tua yang sejahtera dan perbedaan ini berhubungan dengan perkembangan kosakata anak=anak.
·      Studi lain pada lebih dari 1.200 remaja berusia 12-14 tahun, meneliti peran kemiskinan pada prestasi matematika dan membaca. Kemiskinan berkaitan dengan nilai matematika dan membaca yang lebih rendah sehubungan dengan hubungannya dengan lingkungan rumah yang kurang mendukung dan kurang menstimulusasi secara kognitif. Studi ini juga sangat menemukan bahwa kemiskinan berkaitan dengan masalah perilaku sekolah.
Sekolah-sekolah yang diikuti oleh anak-anak dari latar belakang keluarga miskin seringkali mempunyai acuan yang lebih sedikit dibandingkan dengan sekolah-sekolah di lingkungan sekitar berpenghasilan tinggi. Di daerah berpenghasilan rendah, siswa-siswa cenderung mendapatkan skor tes prestasi yang lebih rendah, angka kelulusan lebih rendah, dan angka masuk ke perguruan tinggi yang lebih rendah. Sebagian besar gedung sekolah dan kelas sudah tua, hancur, dan tidak terawat dengan baik. Sekolah tersebut juga kemungkinan besar diurus oleh guru-guru muda yang belum berpengalaman dibandingkan dengan sekolah-sekolah di lingkungan berpenghasilan lebih tinggi. Sekolah-sekolah di daerah berpenghasilan rendah juga lebih cenderung mendorong pembelajaran yang dihafalkan tanpa berpikir, sementara sekolah-sekolah di daerah berpenghasilan lebih tinggi kemungkinan besar lebih sering menghadapi anak-anak meningkatkan keterampilan berpikir mereka. Singkatnya, terlalu banyak terdapat sekolah di lingkungan berpenghasilan rendah yang memberi siswa-siswa lingkungan yang tidak kondisif untuk pembelajaran yang efektif.

3.      Diversitas Kultural
a.     Etnisitas
Kata etnis berasal dari Yunani yang berarti “bangsa”. Etnisitas (ethnicity) merujuk pada pola karakteristik seperti warisan budaya, kebangsaan, ras, agama, dan bahasa. Setiap orang adalah anggota dari satu kelompok etnis atau lebih, dan hubungan antara orang-orang dari latar belakang etnis yang berbeda, tidak hanya di Indonesia, tetapi di setiap sudut dunia, sering dipenuhi dengan bias dan konflik.
Di mana letak perbedaan etnisitas dan ras? Istilah ras, saat ini tidak diyakini sebagai konsep biologis, merujuk pada klasifikasi orang-orang atau makhluk hidup lain menurut karakteristik fisiologis tertentu. Istilah tersebut tidak pernah cocok untuk mendeskripsikan orang-orang dalam artian ilmiah atau pun karena manusia begitu beragam, sehingga mereka tidak masuk ke dalam kategorisasi rasial yang dikemas dengan rapi. Jadi, ras tidak lagi diakui sebagai konsep ilmiah yang autentik. Kata ras jarang digunakan untuk merujuk segala sesuatu atas perilaku seseorang dengan agama atau pun warna kulit.
Dalam budaya di Amerika tidak ada perubahan yang lebih nyata daripada keseimbangan etnis yang berubah-uabah di antara warga negara Amerika. Pada awal abad ke-21, sepertiga dari semua anak-anak usia sekolah masuk dalam kategori yang saat ini dirujuk sebagai “anak-anak berwarna” (terutama Afrika-Amerika, Latin, Asia-Afrika, dan Amerika Asli). Pada 2005, porsi itu akan mencapai separuh. Demografi yang berubah-ubah ini tidak hanya menjanjikan kesempurnaan yang dihasilkan oleh keberagaman, tetapi juga tantangan yang sulit dalam menyampaikan mimpi orang Amerika kepada individu-individu dari semua kelompok etnis. Menurut sejarah, orang-orang berwarna menemukan diri mereka sendiri ada di bawah dari susunan sosial dan ekonomi Amerika. Dengan tidak seimbang mereka digambarkan berada di antara orang miskin dan kurang berpendidikan.

b.   Diskriminasi
Unsur lain yang masih terkait dengan kultur adalah masalah diskriminasi. Diskriminasi adalah perlakuan yang tidak adil terhadap orang atau kelompok lain. Diskriminasi mempunyai hubungan erat dengan relasi antara kelompok yang dominan dengan yang minoritas karena perlakuan yang tidak adil, biasanya sering berasal dari kelompok dominan terhadap kelompok minoritas.[13] Perlakuan tidak adil atau tindakan diskriminatif bisa terjadi dalam berbagai bidang kehidupan seperti ekonomi, politik, sosial, budaya, pendidikan, dan lain-lain. Perbedaan-perbedaan kultural seperi perbedaan agama, suku, ras, klas sosial, gender, umur, dan bahasa dapat dijadikan objek dan alasan untuk melakukan diskriminasi oleh kelompok dominan terhadap kelompok minoritas.
Bentuk diskriminasi ada dua macam, yaitu diskriminasi institusional dan diskriminasi individual.[14] Diskriminasi individual yaitu bersikap tidak adil kepada orang lain hanya karena alasan pribadi belaka. Diskriminasi ini biasanya dilakukan oleh individu-individu. Seorang guru tidak memperdulikan muridnya, ia tidak peduli apakah si murid itu paham atau tidak terhadap apa yang dijelaskannya. Si guru berbuat demikian hanya karena dia mempunyai perasaan tidak suka secara pribadi terhadap si murid.
Sedangkan diskriminasi institusional yaitu perlakuan tidak adil terhadap seseorang atau sekelompok orang yang berasal dari golongan tertentu, terutama dari kelompok minoritas, di dalam institusi-institusi atau organisasi-organisasi kepentingan maupun swasta. Diskriminasi institusional ini biasanya dilakukan oleh sekelompok orang dari golongan tertentu yang dominan dan sangat kuat dalam sebuah institusi sehingga terlihat, seakan-akan, institusi itu yang melakukan diskriminasi. Di dalam sebuah kantor pemerintahan yang mayoritas pegawainya berasal dari suku “A” maka jabatan-jabatan strategis, terutama jabatan kepala kantor, akan selalu diduduki oleh orang-orang yang berasal dari suku lainnya, maka ia akan mendapat kesulitan untuk menduduki jabatan-jabatan strategis di kantor tersebut.
Diskriminasi institusional juga dapat terjadi pada wilayah-wilayah sosial yang lebih lias seperti desa, kecamatan, kabupaten, propinsi, dan bahkan dapat terjadi dalam sebuah institusi negara. Contohnya, akibat telah diterapkannya sistem pemerintahan yang sentralistik pada masa kepemimpinan Soeharto, pembangunan dibeberapa wilayah Indonesia berjalan tidak seimbang. Pembangunan di Jawa dan bali berkembang sangat pesat sedangkan di wilayah lainnya berlangsung sangat lamban.
Di Jawa dan Bali, fasilitas-fasilitas umum seperti sarana transportasi, rumah sakit dan pusat industri tersedia dan berkembang dengan baik. Keadaan ini berdampak pada tingkat kesejahteraan penduduknya lebih baik bila dibandingkan dengan kesejahteraan penduduk di wilayah-wilayah lain seperti Nusa Tenggara Timur dan Papua.
Seperti yang kita ketahui, kedua wilayah tersebut fasilitas-fasilitas umum yang ada sangat tidak memadai. Sarana dan prasarana transportasi sangat terbatas sehingga mobilitas masyarakatnya terhambat. Selain itu, fasilitas kesehatan tidak layak menyebabkan tingkat kesehatan masyarakatnya sangat buruk dan pusat industri yang sangat terbatas menyebabkan tingkat pengangguran tinggi. Keadaan yang demikian ini menyebabkan tingkat kesejahteraan di wilayah tersebut rendah bila dibandingkan dengan kesejahteraan masyarakat di Jawa dan Bali. Ketimpangan pembangunan seperti ini adalah salah satu bentuk diskriminasi institusional.

c.    Bilingualisme
Di seluruh dunia, banyak anak berbicara lebih dari satu bahasa. Bilingualisme adalah kemampuan untuk berbicara dalam dua bahasa. Bilingualisme mempunyai pengaruh yang positif terhadap perkembangan kognitif anak-anak. Anak-anak yang lancar dalam dua bahasa, mendapatkan nilai yang lebih baik dibandingkan dengan rekan-rekan mereka yang berbicara satu bahasa, dalam tes pengendalian perhatian, pembentukan konsep, penelaran analitis, fleksibilitas kognitif, dan kompleksitas kognitif. Mereka juga lebih sadar akan struktur bahasa lisan dan tertulis serta lebih baik dalam menemukan kesalahan-kesalahan tata bahasa dan arti, keterampilan yang menguntungkan membaca mereka.
Para siswa AS, jauh tertinggal dari rekan-rekan mereka di banyak negara maju dalam mempelajari bahasa kedua. Sebagai contoh, di Rusia, sekolah-sekolah mempunyai 10 tingkat kelas, yang disebut forms, yang kira-kira sama dengan 12 tingkat kelas di sekolah Amerika. Di Rusia, anank-anak mulai sekolah di usia 7 tahun dan mulai beljar bahasa Inggris di form ketiga. Karena penekanan pada pengajaran bahasa Inggris ini, sebagian besar warga negara Rusia di bawah usia 40 tahun pada saat ini bisa berbicara sedikit bahasa Inggris.
Pendidikan bilingual (bilingual education) adalah mengajarkan mata pelajaran akademis untuk anak-anak imigran dalam bahasa ibu mereka, sementara dengan perlahan mengajarkan bahasa Inggris. Beberapa peneliti mendukung pendidikan bilingual, di mana anak-anak mengalami kesulitan dalam mempelajari satu mata pelajaran ketika pelajaran tersebut diajarkan dalam bahasa yang tidak mereka megerti, dan ketika kedua bahasa dipadukan di dalam kelas, anak-anak mempelajari bahasa kedua dengan lebih mudah dan berpartisipasi dengan lebih aktif. Namun, banyak hasil penelitian hanya melaporkan dukungan yang biasa saja daripada dukungan kuat untuk pendidikan bilingual, dan beberapa pendukung pendidikan bilingual saat ini mengakui bahwa pelajaran berbahasa Inggris yang kompeten bisa menumbuhkan hasil yang positif untuk pelajar bahasa Inggris.

1.    Pendidikan Multikultural
a.    Gagasan Pendidikan Multikultural
Indonesia adalah salah satu negara multikultural terbesar di dunia. Kebenaran dari pernyatan ini dapat kita lihat dari kondisi sosio-kultural maupun geografis yang begitu beragam dan luas. Sekarang ini, jumlah pulau yang ada di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sekitar 13.000 pulau besar dan kecil. Populasi penduduknya berjumlah lebih dari 200 juta jiwa, terdiri dari 300 suku yang menggunakan hampir 200 bahasa yang berbeda. Selain itu mereka juga menganut agama dan kepercayaan yang beragam seperti Islam, Katolik, Kristen Protestan, Hindu, Budha, Konghucu serta berbagai macam aliran kepercayaan.[15]
Keragaman ini, diakui atau tidak, akan dapat menimbulkan berbagai persoalan seperti sekarang yang dihadapi bangsa ini. Korupsi, kolusi, nepotisme, premanisme, perseteruan politik, kemiskinan, kekerasan, separatisme, perusakan lingkungan, dan hilangnya rasa kemanusiaan untuk selalu menghormati hak-hak orang lain, adalah bentuk nyata sebagai bagian dari multikulturalisme itu. Contoh yang konkrit dan sekaligus menjadi pengalaman pahit bagi bangsa ini adalah terjadinya pembunuhan besar-besaran terhadap pengikut Partai Komunis Indonesia (PKI) pada tahun 1965, kekerasan terhadap etnis Cina di Jakarta pada Mei 1998, dan perang Islam dan Kristen di Maluku Utara pada tahun 1999-2003. Rangkaian konflik itu tidak hanya merenggut korban jiwa yang sangat besar, akan tetapi juga telah menghacurkan ribuan harta benda penduduk, 400 gereja dan 30 masjid. Perang etnis antara warga Dayak dan madura yang terjadi sejak tahun 1931 hingga tahun 2000 telah menyebabkan kurang lebih 2000 nyawa manusia sia-sia.
Berdasarkan permasalah seperti di atas, perlu kiranya dicari strategi khusus dalam memecahkan persoalan tersebut melalui berbagai bidang; sosial, politik, budaya, ekonomi, dan pendidikan. Berkaitan dengan hal ini, maka pendidikan multikultural menawarkan satu alternatif melalui penerapan strategis dan konsep pendidikan yang berbasis pada pemanfaatan keragaman yang ada di masyarat, khususnya yang ada pada siswa seperti keragaman etnis, budaya, bahasa, agama, status sosial, gender, kemampuan, umur, dan ras. Dan yang terpenting strategi pendidikan ini tidak hanya bertujuan agar supaya siswa mudah memahami pelajaran yang dipelajarainya, akan tetapi juga untuk meningkatkan kesadaran mereka agar selalu berperilaku humanis, pluralis, dan demokratis.
Oleh karena itu, hal terpenting yang perlu dicatat dalam pendidikan multikultural ini adalah, seorang guru tidak hanya dituntut untuk menguasai dan mampu secara profesional mengajarkan mata pelajaran yang diajarkannya. Lebih dari itu, seorang pendidik juga harus mampu menanamkan nilai-nilai inti dari pendidikan multikultural seperti demokrasi, humanisme, dan pluralisme.

b.   Definisi Pendidikan Multikultural
Pendidikan multikultural (multikultural education) adalah pendidikan yang menghargai keragaman dan mencakup perspektif dari berbagai kelompok budaya. Satu tujuan penting dari pendidikan multikultural adalah kesempatan pendidikan yang sama untuk semua siswa, termasuk menghapuskan perbedaan prestasi akademis antara siswa-sisa dari kelompok mayoritas dan siswa-siswa dari kelompok minoritas.
Di amerika pendidikan multikultural muncul dari gerakan hak-hak warga negara pada tahun 1960-an dan protes akan persamaan hak dan keadilan sosial bagi para wanita dan orang-orang dengan kulit sewarna. Sebagai sebuah bidang, pendidikan multikultural mencakup isu-isu yang berkaitan dengan status sosial, ekonomi, etnisitas, dan gender. Oleh karena itu keadilan sosial merupakan salah satu nilai dasar bidang tersebut, maka pengurangan prasangka dan pedagogi keadilan merupakan komponen inti.
Menurut Amin Abdullah, pendidikan multikultural adalah strategi pendidikan yang diaplikasikan pada semua jenis mata pelajaran dengan cara menggunakan perbedaan-perbedaan kultural yang ada pada para siswa seperti perbedaan etnis, agama, bahasa, gender, klas sosial, ras kemampuan dan umur agar proses belajar menjadi efektif dan mudah.[16]  Pendidikan multikultural sekaligus juga untuk membangun karakter siswa agar mampu bersikap demokratis, humanis, dan pluralis dalam lingkungan mereka. Dengan kata lain, dapat digambarkan melalui pribahasa “sambil menyelam minum air”. Artinya selain siswa diharapkan dapat dengan mudah memahami, menguasai, dan mempunyai kompetensi dengan baik terhadap mata pelajaran yang diajarkan oleh guru, siswa juga diharapkan mampu untuk selalu bersikap dan menerapkan nilai-nilai demokratis, humanisme, dan pluralisme di sekolah atau di luar sekolah.
Menurut Ainul Yaqin pendidikan multikultural mempunyai dua tujuan yaitu tujuan awal dan tujuan akhir.[17] Tujuan awal pendidikan multikultural yaitu membangun wacana pendidikan multikultural di kalangan guru, dosen, ahli pendidikan, pengambil kebijakan dalam dunia pendidikan, dan mahasiswa jurusan ilmu pendidikan maupun mahasiswa umum. Harapannya adalah apabila mereka mempunyai wacana pendidikan multikultural yang baik maka kelak mereka tidak hanya mampu untuk membangun kecakapan dan keahlian siswa terhadap mata pelajaran yang diajarkan. Akan tetapi juga mampu untuk menjadi transformator pendidikan multikultural yang mampu menanamkan nilai-nilai pluralisme, humanisme, dan demokrasi secara langsung di sekolah kepada para peserta didiknya.
Adapun tujuan akhir pendidikan multikultural ini adalah peserta didik tidak hanya mampu memahami dan menguasai materi pelajaran yang dipelajarinya akan tetapi diharapkan juga bahwa para peserta didik akan mempunyai karakter yang kuat untuk selalu bersikap demokratis, pluralis, dan humanis.

c.    Program Pendidikan Multikultural
Secara etimologis, multikultural dibentuk dari kata multi (banyak), kultur (budaya), dan isme (aliran atau paham). Secara hakiki dalam kata itu terkandung pengakuan akan martabat manusia yang hidup dalam komunitas dengan kebudayaannya masing-masing yang unik. Dengan demikian setiap indivisu merasa dihargai sekaligus merasa bertanggung jawab untuk hidup bersama dalam komunitasnya. Pengakuan suatu masyarakat terhadap kebutuhan untuk diakui (politich of recognition) mrupakan akar dari ketimpangan di dalam bidang kehidupan.
Tilaar menjelaskan beberapa program priritas dalam pendidikan multikultural, diantaranya:
1.    Pendidikan multikultural didasarkan pada pendagogik, yaitu berdasarkan kesetaraan manusia (equity pedagogy). Pedagogik kesetaraan bukan hanya mengakui akan hak manusia tetapi juga hak kelompok manusia, kelompok suku bangsa, kelompok bangsa untuk hidup berdasarkan kebudayaannya sendiri. Dengan demikian diakui adanya prinsip kesetaraan individu, antarindividu, antar bangsa, antar budaya, antar agama, dan sebagainya.
2.    Pendidikan multikultural ditujukan kepada terwujudnya manusia Indonesia cerdas. Ppendidikan mutikultural diarahkan untuk mengembangkan pribadi-pribadi manusia Indonesia agar menjadi manusia yang cerdas. Manusia cerdas adalah manusia yang membuka diri dan pemikirannya yang terbatas, menguasai, dan memanfaatkan kemajuan teknologi untuk membuka horizonnya, mengenal dunia yang lain, budaya milik tetangganya dan budaya bangsa yang beraneka ragam.
3.    Prinsip globalisasi kebudayaan yang diharuskan untuk mempertahankan kekuatan budaya bangsa dan menolak kebudayaan yang merusak.[18]

Adapun program-program yang menjadi prioritas dalam pendidikan multikultural adalah:
1.    Lembaga-lembaga pendidikan sebagai pusat budaya. Lembaga-lembaga pendidikan bukan hanya sebagai pusat belajar dan mengajar intelektual development tetapi harus pula merupakan pusat penghayatan dan pengembanan budaya, baik budaya lokal maupun budaya nasional bahkan budaya lokal.
2.    Pendidikan kewargaan. Dalam wadah pendidikan multikultural titik tolaknya adalah budaya dalam lingkungan peserta didik yang kemudian akan bermuara kepada nilai-nilai budaya nasional.
3.    Kurikulum pendidikan multikultural. Sesuai dengan otonomi pendidikan yang diberikan kepada daerah, tentunya setiap daerah menyusun kembali kuikulum pendidikan multikultural yang dibutuhkan oleh masyarakat.
4.    Kebijakan penyebaran informasi. Pendidikan pada hakikatnya merupakan penyebaran informasi secara luas dan benar.
5.    Pendidikan guru. Pelaksanaan pendidikan multikultural hanya dapat dilaksanakan apabila guru itu sendiri adalah pemain dalam kehidupan yng multikulturalis.







BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN

A.      Kesimpulan
Dari uraian mengenai variasi individual dan diversi sosio cultural dapat disimpulkan bahwa:
1.        Individu berasal dari kata individera yang berarti satu kesatuan organisme yang tidak dapat dibagi-bagi lagi atau tidak dapat dipisahkan. Dalam bidang pendidikan, siswa atau peserta didik yang melakukan kegiatan belajar atau mengikuti proses pendidikan disebut sebagai individu.
2.        Setiap individu memiliki ciri dan sifat atau karakteristik bawaan (heredity) dan karakteristik yang diperoleh dari pengaruh lingkungan. Karakteristik bawaan merupakan sifat keturunan yang dimiliki sejak lahir, sedangkan karakteristik yang diperoleh dari pengaruh lingkungan merupakan hasil interaksi individu dengan sekitarnya.
3.        Garry mengategorikan variasi individual ke dalam perbedaan fisik, sosial, kepribadian, intelegensi dan kemampuan dasar, serta perbedaan kecakapan atau kemampuan dasar. Sedangkan Sunarto dan Hartono mengategorikan variasi individual dalam perbedaan kognitif, kecakapan bahasa, kecakapan motorik, latar belakang, bakat, dan kesiapan belajar.
4.        Pengelompokan peserta didik perlu dilakukan untuk mengatasi variasi individual dalam proses pembelajaran. Pengelompokan yang dimaksud adalah penyatuan beberapa individu yang memiliki kesamaan karakter dan sifat untuk tujuan tertentu.
5.        Status sosial orang tua akan sangat berpengaruh pada lingkungan hidup dan pendidikan anaknya. Pada orang dengan status sosial rendah, lingkungannya kebanyakan memberikan ketidakuntungan seperti kurangnya stimulasi, ketidakteraturan, pengasuhan yang lebih bersifat autoritarian, dan kemampuan anak yang akhirnya rendah. Sedangkan budaya yang berbeda memiliki ekspektasi pendidikan dan perkembangan yang berbeda pada peserta didik.
6.        Pendidikan multikultural adalah pendidikan yang meninjau perbedaan dan melihat perspektif dari masing-masing budaya dengan cara mendasar. Tujuan pendidikan multikultural adalah memberikan kesempatan belajar pada siswa dengan setara.

B.       Saran
Ada beberapa saran yang mungkin dapat dipertimbangakn berkaitan dengan variasi individual dan diversi sosio cultural, antara lain adalah;
1.        Guru diharapkan dapat lebih menghargai perbedaan-perbedaan individu dalam pendidikan.
2.        Guru juga perlu memiliki ekspektasi prestasi yang tinggi pada murid dari kalangan minoritas dan murid yang berlatar belakang ekonomi rendah serta mengikutsertakan mereka ke dalam program akademis yang tepat.
3.        Guru perlu melakukan pengelompokan yaitu penyatuan beberapa individu yang memiliki kesamaan karakter dan sifat agar tercapainya tujuan pendidikan.

DAFTAR PUSTAKA

David and Honor Woods. Working with People with Learning Disabilities. New York: Jessica Kingsley. 1998.
Fatimah, Enung. Psikologi Perkembangan (Perkembangan Peserta Didik). Bandung: CV Pustaka Setia. 2010.
Horton, P. B. and C. L. Hunt.  Sociology . New York: MCGraw-Hill Book Company. 1982.
Kottak, P. Conrad. Anthropology: The Exploration of human Diversity. NY: Random House. 1987.
Nanda, Serena dan L. Richard Warms. Cultural Antrophology. NY: ITP. 1998.
Ritzer, George . et.al.. Sociology: Experience A Changing Society . Boston: Allyn and Bacon. 1991.
Soekanto, Soerjono. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: Rajawali Pers. 1990.
Sukmadinata, Nana Syaodih. Landasan Psikologi Proses Pendidikan. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. 2007
Sumaatmadja, Nursid. Manusia dalam Konteks Sosial. Budaya. dan Lingkungan Hidup. Bandung: Alfabeta. 2010.
Sunarto dan B. Agung Hartono. Perkembangan Peserta Didik. Jakarta: PT. Rineka Cipta. 2006.
Tilaar. Multikulturalisme. Jakarta: Grasindo. 2004.
Yaqin, M. Ainul. Pendidikan Multikultural; Cross-Cultural Understanding untuk Demokrasi dan Keadilan . Yogyakarta: Pilar Media. 2007.
http://www.anneahira.com/pengertian-sosial-budaya.html (diakses pada tanggal 19 Januari 2014).




[1] Enung Fatimah, Psikologi Perkembangan (Perkembangan Peserta Didik), (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2010), h. 11.
[2] Sunarto dan B. Agung Hartono, Perkembangan Peserta Didik, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2006), h. 2.
[3] Nana Syaodih Sukmadinata, Landasan Psikologi Proses Pendidikan, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2007), h. 35.
[4] Fatimah, op.cit., h. 12.
[5] Ibid
[6] Sunarto dan Hartono, op.cit., h. 5.
[7] Nana Syaodih Sukmadinata, op .cit., h. 43.
[8] Sunarto dan Hartono, op. cit., h. 9.
[9] Ibid, h. 11
[10] M. Ainul Yaqin, Pendidikan Multikultural; Cross-Cultural Understanding untuk Demokrasi dan Keadilan (Yogyakarta: Pilar Media, 2007), h. 145.
[11] Ibid.
[12] George  Ritzer, et.al., Sociology: Experience A Changing Society (Boston: Allyn and Bacon, 1991), h. 199.
[13] M. Ainul Yaqin, op.cit., h. 21.

[14] David and Honor Woods, Working with People with Learning Disabilities (New York: Jessica Kingsley, 1998), h. 15.
[15] M. Ainul Yaqin, op.cit., h. 3-4.
[16] M. Ainul Yaqin, ibid.., h. 25.
[17] Ibid., h. 26.
[18] Tilaar, Multikulturalisme (Jakarta: Grasindo, 2004), h. 219-220.