BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Manusia
sejak dahulu telah menjadi bahan pembicaraan manusia itu sendiri karena
keunikannya. Unik dalam arti fisik dan jiwanya. Dikatakan demikian, karena di
dunia ini tidak ada dua individu yang identik atau sama persis, meskipun kedua
individu tersebut kembar. Setiap orang, apakah ia seorang anak atau seorang dewasa, dan
apakah ia berada di dalam suatu kelompok atau seorang diri, ia disebut
individu. Individu menunjukkan kedudukan seseorang sebagai orang perorangan
atau perseorangan. Sifat individual adalah sifat yang berkaitan dengan orang
perseorangan. Ciri dan sifat orang yang satu berbeda dengan yang lain.
Perbedaan ini disebut perbedaan individu atau variasi individual. Perbedaan individual menyangkut variasi yang terjadi pada
aspek fisik maupun psikologis.
Di
sisi lain, pendidikan sebagai salah satu budaya manusia, sekaligus sebagai
cabang ilmu sosial sangat berkepentingan terhadap kajian variasi individual.
Sebab, dengan meletakkan perbedaan individu sebagai salah satu landasannya,
proses pendidikan akan tepat sasaran. Dikatakan demikian karena proses
pendidikan itu hakikatnya bersinggungan langsung dengan individu-individu.
Bagaimana mungkin sebuah proses pendidikan akan berhasil guna dan berdaya guna
manakala fitrah manusia yang memiliki perbedaan diabaikan. Perbedaan ini
melingkupi banyak hal termasuk perbedaan sosio kultural.
Perbedaan
sosial atau yang lebih dikenal dengan perbedaan status sosial merupakan
pengelompokan orang-orang berdasarkan jabatan, pendidikan, dan karakteristik
ekonomi. Status sosial orang tua akan sangat berpengaruh pada lingkungan dan
pendidikan anaknya. Pada orang tua dengan status sosial rendah akan berdampak
pada rendahnya tingkat pendidikan yang dituntaskan, begitu pula sebaliknya.
Selain
perbedaan sosial, perbedaan lain yang juga menyita perhatian adalah perbedaan
kultural atau perbedaan budaya. Culture
atau budaya merupakan hasil dari interaksi sebuah kelompok tertentu dengan
lingkungannya dalam waktu yang cukup lama. Budaya yang berbeda memiliki
ekspektasi pendidikan dan perkembangan yang berbeda pula. Sebagai contoh,
remaja pelajar di kawasan Amerika memiliki lebih banyak waktu luang karena
mereka hanya memiliki sedikit pekerjaan rumah dibandingkan dengan remaja
pelajar di kawasan Asia.
Dengan
menyadari sekaligus menghargai perbedaan-perbedaan individu ini, proses
pendidikan akan lebih berarti. Bisa jadi modernisasi pendidikan seyogyanya
diawali dengan kesadaran akan variasi individual yang memiliki kelebihan, dan
atau kelemahan masing-masing. Oleh karena itu, kini muncul istilah-istilah
seperti CTL (Contextual Teaching and
Learning), life skill, pendidikan
multikultural, dan lain-lain yang berorientasi pada perbedaan individu.
Berdasarkan pemaparan di atas, penulis bermaksud mengangkat pembahasan mengenai
variasi individual dan diversitas sosio kultural.
B.
Permasalahan
Adapun
permasalahan yang akan dibahas adalah sebagai berikut:
1.
Apakah yang dimaksud
dengan individu dan apa saja karakteristiknya?
2.
Apa sajakah variasi
individual itu?
3.
Bagaimana mengatasi
variasi individual dalam proses pembelajaran?
4.
Apakah yang dimaksud
dengan diversitas sosio kultural dalam pendidikan?
5.
Bagaimana cara
mengantisipasi perbedaan sosial budaya?
C.
Tujuan
Tujuan
dari penyusunan makalah ini adalah sebagai berikut:
1.
Untuk mengetahui apakah
yang dimaksud dengan individu dan apa saja karakteristiknya.
2.
Untuk mengetahui apa
sajakah variasi individual itu.
3.
Untuk mengetahui
bagaimana mengatasi variasi individual dalam proses pembelajaran.
4.
Untuk mengetahui apakah
yang dimaksud dengan diversitas sosio kultural dalam pendidikan.
5.
Untuk mengetahui
bagaimana cara mengantisipasi perbedaan sosial budaya tersebut.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Individu dan Karakteristiknya
1.
Pengertian Individu sebagai Peserta Didik
Fatimah
menyebutkan bahwa istilah individu berasal dari kata individera yang berarti satu kesatuan organisme yang tidak dapat
dibagi-bagi lagi atau tidak dapat dipisahkan. Individu merupakan kata benda
dari individual yang berarti orang atau perseorangan.
Sedangkan menurut Sunarto dan Hartono, individu berarti tidak dapat dibagi (undevided), tidak dapat dipisahkan;
keberadaannya sebagai makhluk yang pilah, tunggal dan khas.
Sejak lahir, manusia merupakan kesatuan jasmani dan rohani yang unik dan
berbeda dengan manusia lainnya, yang secara terus menerus mengalami pertumbuhan
dan perkembangan. Istilah pertumbuhan digunakan untuk menyatakan perubahan
kuantitatif mengenai aspek fisik dan biologis, sedangkan perkembangan digunakan
untuk perubahan yang bersifat kualitatif mengenai aspek psikis atau rohani.
Dalam
bidang pendidikan, siswa atau peserta didik yang melakukan kegiatan belajar
atau mengikuti proses pendidikan disebut sebagai individu.
Sebenarnya, yang terlibat dalam proses pendidikan tidak hanya siswa, tetapi
juga guru dan para petugas pendidikan lainnya. Namun, karena siswa merupakan
subjek pendidikan, siswalah yang disebut sebagai individu peserta didik.
Setiap
individu dikatakan sebagai peserta didik apabila ia telah memasuki usia
sekolah. Usia 4-6 tahun di taman kanak-kanak, usia 6 atau 7 tahun di sekolah
dasar, usia 13-16 tahun di SMP, dan usia 16-19 tahun di SMA.
Jadi, individu sebagai peserta didik adalah anak yang tergolong atau tercatat
sebagai siswa di dalam sebuah satuan pendidikan.
2.
Karakteristik Individu sebagai Peserta Didik
Setiap
individu memiliki ciri dan sifat atau karakteristik bawaan (heredity) dan karakteristik yang
diperoleh dari pengaruh lingkungan.
Karakteristik bawaan merupakan karakteristik keturunan yang dimiliki sejak
lahir, menyangkut faktor biologis maupun faktor sosial psikologis. Sebaliknya,
karakteristik yang diperoleh dari pengaruh lingkungan merupakan hasil interaksi
individu dengan sekitarnya. Apa yang dipikirkan dan dikerjakan oleh seseorang,
atau apa yang dirasakan oleh seorang anak, remaja, atau dewasa merupakan hasil
dari perpaduan antara karakteristik bawaan dan pengaruh lingkungan.
Akan
tetapi, pengaruh lingkungan nampaknya berpengaruh lebih besar terhadap
keberhasilan atau kegagalan peserta didik di sekolah dan pada masa-masa
perkembangan selanjutnya. Hal ini dikarenakan karakteristik yang berkaitan
dengan perkembangan faktor biologis cenderung lebih bersifat tetap, sedangkan
karakteristik yang berkaitan dengan faktor psikologis lebih mudah berubah
karena dipengaruhi oleh pengalaman dan lingkungan.
Seorang
bayi yang baru lahir merupakan hasil dari dua garis keluarga, yaitu garis
keluarga ayah dan garis keluarga ibu. Sejak terjadinya pembuahan dan konsepsi
kehidupan yang baru itu secara berkesinambungan dipengaruhi oleh banyak dan
bermacam-macam faktor lingkungan yang merangsang. Masing-masing perangsang
tersebut, baik secara terpisah atau secara terpadu dengan rangsangan yang lain,
semua membantu perkembangan potensi-potensi biologis demi terbentuknya tingkah
laku manusia yang dibawa sejak lahir. Sunarto dan Hartono menyebutkan bahwa hal
itu akhirnya membentuk suatu pola karakteristik tingkah laku yang dapat
mewujudkan seseorang menjadi individu yang berkarakteristik berbeda dengan
individu-individu lain.
3.
Variasi Individual
Telah
diuraikan di muka bahwa tiap individu memiliki ciri-ciri yang khas, yang
berbeda satu dengan yang lainnya. Walaupun secara sepintas seorang individu
menunjukkan persamaannya dengan individu-individu yang lain, tetapi secara
lebih mendetail dapat dikatakan bahwa tidak ada dua individu yang identik atau
persis sama. Perbedaannya hampir meliputi segenap aspek kehidupan individu.
Individu
berbeda dalam kecerdasan, bakat, dan kecakapan-kecakapan hasil belajarnya;
berbeda pula dalam sikap, minat, emosi, perasaan, motif serta penghayatannya
akan nilai-nilai; juga berbeda dalam kecakapan dan keterampilan fisik dan
sosial.
Garry dalam Sukmadinata mengategorikan variasi individual ke dalam
bidang-bidang berikut:
1.
Perbedaan fisik: usia,
tingkat, dan berat badan, jenis kelamin, pendengaran, penglihatan, dan
kemampuan bertindak.
2.
Perbedaan sosial
termasuk status ekonomi, agama, hubungan keluarga, dan suku.
3.
Perbedaan kepribadian
termasuk watak, motif, minat, dan sikap.
4.
Perbedaan intelegensi
dan kemampuan dasar.
5.
Perbedaan kecakapan
atau kemampuan dasar.
Perbedaan-perbedaan
tersebut berpengaruh terhadap perilaku peserta didik baik di rumah maupun
sekolah. Gejala yang dapat diamati adalah bahwa mereka menjadi lebih atau
kurang dalam bidang tertentu dibandingkan dengan orang lain.
Sunarto
dan Hartono juga merumuskan variasi individual dilihat dari berbagai aspek yag
dijelaskan secara rinci sebagai berikut:
1)
Perbedaan Kognitif
Menurut
Bloom, proses belajar, baik di sekolah maupun di luar sekolah, menghasilkan
tiga kemampuan yang dikenal sebagai taksonomi Bloom, yaitu kemampuan kognitif,
afektif, dan psikomotorik. Kemampuan kognitif merupakan kemampuan yang
berkaitan dengan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi. Pada dasarnya,
kemampuan kognitif merupakan hasil belajar. Sebagaimana diketahui bahwa hasil
belajar merupakan perpaduan antara factor pembawaan dan pengaruh lingkungan
(faktor dasar dan ajar). Tingkat
kemampuan kognitif tergambar pada hasil belajar yang diukur dengan tes hasil
belajar.
Intelegensi
(kecerdasan) sangat berpengaruh terhadap kemampuan kognitif seseorang. Antara
kecerdasan dan kemampuan kognitif berkorelasi tinggi dan positif, sehingga
semakin tinggi kecerdasan seseorang, maka akan semakin tinggi pula kemampuan
kognitifnya.
2)
Perbedaan dalam Kecakapan Bahasa
Kemampuan
berbahasa merupakan kemampuan seseorang untuk menyatakan buah pikirannya dalam
bentuk ungkapan kata dan kalimat yang penuh makna, logis, dan sistematis.
Kemampuan berbahasa tersebut sangat dipengaruhi oleh faktor kecerdasan dan
faktor lingkungan. Faktor-faktor lain yang juga penting adalah faktor fisik,
terutama organ berbicara.
3)
Perbedaan dalam Kecakapan Motorik
Kecakapan
motorik atau kecakapan psikomotorik merupakan kemampuan untuk melakukan
koordinasi kerja saraf motorik yang dilakukan oleh saraf pusat untuk melakukan
kegiatan. Seorang individu yang semakin dewasa menunjukkan fungsi-fungsi fisik
yang semakin matang. Hal ini berarti ia akan mampu menunjukkan kemampuan yang
lebih baik dalam banyak hal, seperti kekuatan untuk mempertahankan perhatian,
koordinasi otot, kecepatan berpenampilan, keajegan untuk mengontrol, dan
resisten terhadap kelelahan. Dari kenyataan ini dapat dinyatakan bahwa semakin
bertambahnya usia seseorang, berarti akan semakin matang sehingga mampu menunjukkan
tingkat kecakapan motorik yang semakin tinggi.
4)
Perbedaan dalam Latar Belakang
Dalam
suatu kelompok siswa pada tingkat manapun, perbedaan latar belakang dan
pengalaman mereka masing-masing dapat memperlancar atau menghambat prestasinya,
terlepas dari potensi individu untuk menguasai bahan pelajaran.
Pengalaman-pengalaman belajar yang dimiliki anak di rumah mempengaruhi kemauan
untuk berprestasi dalam situasi belajar yang disajikan. Latar belakang
keluarga, baik dilihat dari segi sosio ekonomi maupun sosio cultural adalah
berbeda-beda. Demikian pula lingkungan sekitarnya, baik lingkungan sosial
maupun lingkungan fisik akan memberikan pengaruh yang berbeda-beda.
5)
Perbedaan dalam Bakat
Bakat
merupakan kemampuan khusus yang dibawa sejak lahir. Kemampuan tersebut akan
berkembang dengan baik apabila mendapatkan rangsangan dan pemupukan secara
tepat. Sebaliknya, bakat tidak dapat berkembang sama sekali, manakala
lingkungan tidak memberikan kesempatan untuk berkembang, dalam arti tidak ada
rangsangan dan pemupukan yang menyentuhnya. Dalam hal inilah makna pendidikan
menjadi penting artinya.
6)
Perbedaan dalam Kesiapan Belajar
Di
depan telah diuraikan, bahwa perbedaan latar belakang keluarga dan lingkungan
mempunyai pemngaruh terhadap belajar. Perbedaan latar belakang tersebut, yang
meliputi perbedaan sosioekonomi dan sosiokultural, amat penting artinya bagi
perkembangan anak. Akibatnya, anak-anak pada usia yang sama tidak selalu berada
pada tingkat kesiapan yang sama dalam menerima pengaruh dari luar yang lebih
luas, dalam hal ini pelajaran di sekolah. Dengan demikian, perbedaan-perbedaan
individu itu tidak saja disebabkan oleh keragaman dalam rentang kematangan
tetapi juga oleh keragaman dalam latar belakang sebelumnya.
Kondisi
fisik yang sehat, dalam kaitannya dengan kesehatan dan penyesuaian diri yang
memuaskan terhadap pengalaman-pengalaman disertai rasa ingin tahu yang amat
besar terhadap orang-orang dan benda-benda, membantu berkembangnya kebiasaan
berbahasa dan belajar yang diharapkan. Sikap apatis, pemalu, dan kurang percaya
diri, akibat dari kesehatan yang kurang baik, cacat tubuh, dan latar belakang
yang miskin pengalaman, mempengaruhi perkembangan, pemahaman, dan ekspresi
diri.
4.
Mengatasi Variasi Individual dalam Proses Pembelajaran
Pengelompokan
peserta didik perlu dilakukan untuk mengatasi variasi individual dalam proses
pembelajaran. Pengelompokan yang dimaksud adalah penyatuan beberapa individu
yang memiliki kesamaan karakter dan sifat untuk tujuan tertentu. Dikatakan
untuk tujuan tertentu karena perilaku individu tidak selalu memiliki tingkat
kesamaan fungsi dan arah walaupun memiliki karakter yang sama atau hampir sama.
Jadi kesamaan yang dimaksud adalah kesamaan berdasarkan kedekatan tujuan,
minat, dan bakatnya.
Setiap
individu memiliki kemampuan, minat, dan bakat yang dapat dikelompokkan guna
menunjang efektifitas pendidikan. Setiap individu juga memiliki tingkat
kemampuan intelektual dan kognitif yang dapat dikelompokkan terutama bidang
pengetahuan sehingga proses pendidikan dapat lebih efisien. Bagi individu yang
memiliki kesamaan cacat fisik, (baik cacat mental, maupun cacat fisik) dapat
dikelompokkan untuk memberi peluang agar mereka tidak terhambat dalam
memperoleh pendidikan. Keterampilan-keterampilan individu yang bersifat
spesifik nantinya akan dikelompokkan sesuai dengan jenis keterampilannya. Hal
ini tentu akan membantu penyelenggaraan program pendidikan yang sangat terbatas
kemampuannya dalam melayani setiap kebutuhan individu.
Pendidikan
segregatif atau terpisah-pisah atau terbagi-bagi merupakan sistem pendidikan
yang menciptakan kompetensi dan unggulan-unggulan yang memberi keleluasaan
kepada individu untuk bersaing, memilih, atau melakukan upaya pencapaian
prestasi sesuai dengan kemampuan, minat, bakat, dan kondisi fisik
masing-masing. Pendidikan segregatif bersifat inklusif, menguntungkan peserta
didik yang memiliki bakat serta keunggulan (gifted and talented), termasuk anak
yang memiliki ketunaan atau cacat, dan yang mengalami kesulitan belajar. Dengan
jalan ini, variasi individual dalam proses pendidikan dapat diantisipasi.
B.
Diversitas Sosio Kultural
Kita masing-masing lahir sebagai manusia yang hidup di
tengah-tengah pergaulan manusia. Namun demikian, kita juga tidak mengenal
secara rinci karakter manusia itu. Ungkapan “tidak ada manusia yang sama”
meskipun mereka lahir kembar. Apalagi jika diingat manusia itu jumlahnya
miliaran. Walaupun begitu, manusia sebagai mahluk hidup yang ada di
tengah-tengah manusia lain (lingkungan sosial) dan dalam konteks budaya
(lingkungan budaya), di samping memiliki sifat-sifat yang berbeda, juga
memiliki hal-hal yang sama selaku manusia, mahluk hidup, bgian dari alam serta
sebagai ciptaan Tuhan.
Manusia sebagai ciptaan Tuhan, tidak dapat ditelaah hanya
sebagai fenomena alam semata-mata, dan sebagai mahluk yang berakal juga tidak
dapat ditelaah hanya sebagai fenomena budaya. Dalam diri manusia selaku
makhluk, melekat fenomena alam dan juga fenomena budaya. Hal inilah yang
menjadi keunikan manusia.
Sebagai individu, manusia merupakan kesatuan jasmani dan
rohani yang mencirikan otonomi dirinya. Dalam proses pertumbuhan jasmani dan
perkembangan rohani, manfaat kemampuannya secara alamiah bagi kepentingan
individu sendiri. Namun dalam konteks sosial selaku makhluk sosial, pertumbuhan
dan perkembangan indvidu tersebut pemanfaatannya tidak hanya untuk kepentingan
pribadi, melainkan juga untuk kepentingan bersama, kepentingan masyarakat.
Bahkan pertanggungjawaban perilaku dirinya, juga tidak hanya tertuju kepada
individu yang bersangkutan, melainkan juga tertuju kepada masyarakat.
Manusia sebagai mahkluk hidup yang dikaruniai akal-pikiran
yang berkembang dan dapat dikembangkan juga mendapat julukan sebagai individu
budaya. Keunikan ini telah membawa pertumbuhan dan perkembangan manusia yang
berbeda dengan makhluk hidup lainnya,
bahkan juga perkembangan ruang muka bumi yang menjadi tempat hidup serta sumber
daya yang menjaminnya. Oleh karena itu, perilaku manusia ini menuntut tanggung
jawab terhadap budaya yang menjadi bagian dari kehidupan manusia sendiri.
Dalam sistem budaya, selain manusia berkreasi dalam
mengembangkan akal-pikiranya yang menghasilkan kebudayaan, manusia juga
berinteraksi dengan sesamanya. Oleh karena itu, manusia sebagai makhluk budaya,
tidak dapat melepaskan diri dari konteks budaya yang mempengaruhi, membatasi,
dan bahkan mengembangkan kehidupannya sendiri. Manusia selain hidup dalam
“lingkungan budaya”, juga berinteraksi dengan lingkungan tersebut.
Pada proses sosial dalam bentuk interaksi sosial, manusia
tidak terlepas dari konteks sosial yang disebut “lingkungan sosial”. Lingkungan
yang terakhir ini besar sekali pengaruhnya terhadap pembentukan pribadi
individu. Ungkapan vonis sehari-hari dimasyarakat, misalnya seperti istilah
“salah lingkungan”, jelas ditujukan kepada lingkungan sosial. Ke dalam lingkungan
sosial ini termasuk keluarga, teman sepermainan, para tetangga, dan demikian
seterusnya.
Sosiokultural terbentuk dari dua kata, sosial dan kultural.
Sosial berasal dari kata Latin socius
yang berarti “kawan atau masyarakat”, sedangkan kultural berasal dari colere yang berarti “mengolah”. Colere berasal dari bahasa Inggris yaitu
cultur yang diartikan sebagai segala
daya upaya dan kegiatan manusia dalam mengubah dan mengolah alam.
a.
Diversitas Status Sosial Ekonomi Individu dalam Masyarakat
Sebagian besar negara mempunyai banyak subbudaya. Salah satu
cara yang paling umum untuk mengkategorisasikan subbudaya melibatkan status
sosial ekonomi. Status sosial ekonomi merujuk pada kategorisasi orang-orang
menurut karakteristik ekonomi, pendidikan, dan pekerjaan mereka. Di Amerika
Serikat begitu pula di Indonesia, status sosial ekonomi mempunyai impplikasi
penting untuk pendidikan. Individu-individu yang status sosial ekonominya
rendah , rering kali mempunyai tingkat pendidikan dan kekuatan yang rendah untuk
mempengauhi institusi masyarakat (seperti sekolah) dan sumber ekonomi yang
lebih sedikit.
1)
Tingkat Kemiskinan di Indonesia
Dalam sebuah negara yang dilanda berbagai macam krisis yang
berkepanjangan, seperti di Indonesia ini, timbulnya kesenjangan sosial yang
sangat dalam antara kelompok masyarakat yang miskin dan kaya adalah suatu
kenyataan yang sulit dihindari. Keadaan seperti ini kemudian menyebabkan
timbulnya berbagai kelompok sosial dalam masyarakat itu sendiri. Perbedaan
kelompok sosial ini merupakan salah satu bentuk dan bagian dari stratifikasi
sosial.
Menurt Ainul Yaqin, stratifikasi sosial itu sendiri,
sebenarnya merupakan akibat ketidaksamaan posisi dan tempat secara sosial di
dalam masyarakat yang berbentuk pengkategorian yang berbeda-beda, sehingga
kesempatan untuk mendapatkan akses tertentu seperti sosial, ekonomi, dan
politik menjadi berbeda. Stratifikasi sosial ini adalah sebuah fenomena sosial.
Sebual label stratifikasi sosial bukan merupakan karakter yang dibawa manusia
sejak lahir atau disebabkan oleh kekuatan supranatural yang datang dari luar
kemampuan manusia. Stratifikasi sosial lebih merupakan akibat dari perbuatan
manusia yang dilakukan sekarang atau masa lalu. Dapat juga dikatakan bahwa
generasi-generasi awal kita menyebabkan keberhasilan atau kehancuran generasi
akan datang.
Menurut Webber menjelaskan bahwa di dalam stratifikasi sosial itu terdapat tiga
unsur pokok, yaitu: class, status, and
power.
Masalah utama yang dihadapi negara berkembang seperti
Indonesia, pengangguran dan kemiskinan. Apabila kedua masalah ini dapat ditekan
serendah-rendahnya, maka sedikit demi sedikit negara ini akan dapat menjauh
dari berbagai krisis yang ada.
Tabel dibawah ini menjelaskan fluktuasi jumlah masyarakat
miksin di Indonesia dari tahun 1970 sampai 1999.
Tabel Jumlah
Penduduk Miskin Per-Lima Tahunan Mulai 1970-1999
No.
|
Tahun
|
Penduduk Miskin
|
Jiwa (Juta)
|
(%)
|
1.
|
1970
|
70.00
|
60
|
2.
|
1976
|
54.20
|
40,08
|
3.
|
1980
|
42.30
|
33,31
|
4.
|
1984
|
35.00
|
21,64
|
5.
|
1987
|
30.00
|
17,42
|
6.
|
1990
|
27.20
|
15,08
|
7.
|
1993
|
26.90
|
13,67
|
8.
|
1996
|
22.50
|
11,34
|
9.
|
1998
|
49.50
|
24,20
|
10.
|
1999
|
79.40
|
39,10
|
Sumber: BPS 1998.
2)
Keadaan Siswa-siswa dari Latar Belakang Status Sosial Ekonomi yang Rendah
Anak-anak dari keluarga miskin seringkali menghadapi
masalah-masalah di rumah dan di sekolah yang membahayakan pembelajaran mereka.
Tinjauan terbaru perihal lingkungan kemiskinan dalam masa kanak-kanak,
menyimpulkan bahwa bila dibandingkan dengan rekan-rekan mereka yang lebih
beruntung secara ekonomi, anak-anak
miskin mengalami hal-hal malang berikut:
·
Mereka dihadapkan “pada
lebih banyak kekacauan keluarga, kekerasan, pemisahan dari keluarga mereka,
intstabilitas, dan rumah tangga yang kacau-balau.
·
Dukungn sosial dan
orang tua mereka kurang responsif dan lebih otoriter.
·
Jarang membaca, lebih
sering menonton televisi, dan mempunyai lebih sedikit akses untuk buku dan
komputer.
·
Mendpatkan sekolah dan
fasilitas pengasuhan anak yang buruk dan orang tua yang “kurang terlibat dalam
aktivitas sekolah anak-anak mereka”.
·
Udara dan air yang
lebih tercemar dan rumah yang “lebih padat, lebih berisik, dan memiliki
kualitas yang lebih rendah”.
·
Lingkungan sekitar yang
lebih berbahaya dan buruk secara fisik dengan layanan kota yang kurang memadai.
Dua studi berikut ini mengilustrasikan bagaimana kemiskinan
secara negatif dapat mempengaruhi pembelajaran dan perkembangan:
·
Satu studi
membandingkan lingkungan bahasa rumah dari anak-anak berusia 3 tahun yang
berasal dari keluarga yang sejahtera dan profesional. Semua anak berkembang
secara normal dalam hal belajar berbicara dan mempelajari semua bentuk bahasa
Inggris serta kosakata dasar. Namun, ada perbedaan besar yaitu sedikitnya
jumlah bahasa yang diketahui anak-anak dan tingkat perkembangan bahasa yang
akhirnya dicapai anak-anak. Orang tua profesional berbicara lebih banyak dengan
anak-anak mereka dibandingkan dengan orang tua yang sejahtera dan perbedaan ini
berhubungan dengan perkembangan kosakata anak=anak.
·
Studi lain pada lebih
dari 1.200 remaja berusia 12-14 tahun, meneliti peran kemiskinan pada prestasi
matematika dan membaca. Kemiskinan berkaitan dengan nilai matematika dan
membaca yang lebih rendah sehubungan dengan hubungannya dengan lingkungan rumah
yang kurang mendukung dan kurang menstimulusasi secara kognitif. Studi ini juga
sangat menemukan bahwa kemiskinan berkaitan dengan masalah perilaku sekolah.
Sekolah-sekolah yang diikuti oleh anak-anak dari latar
belakang keluarga miskin seringkali mempunyai acuan yang lebih sedikit dibandingkan
dengan sekolah-sekolah di lingkungan sekitar berpenghasilan tinggi. Di daerah
berpenghasilan rendah, siswa-siswa cenderung mendapatkan skor tes prestasi yang
lebih rendah, angka kelulusan lebih rendah, dan angka masuk ke perguruan tinggi
yang lebih rendah. Sebagian besar gedung sekolah dan kelas sudah tua, hancur,
dan tidak terawat dengan baik. Sekolah tersebut juga kemungkinan besar diurus
oleh guru-guru muda yang belum berpengalaman dibandingkan dengan
sekolah-sekolah di lingkungan berpenghasilan lebih tinggi. Sekolah-sekolah di
daerah berpenghasilan rendah juga lebih cenderung mendorong pembelajaran yang
dihafalkan tanpa berpikir, sementara sekolah-sekolah di daerah berpenghasilan
lebih tinggi kemungkinan besar lebih sering menghadapi anak-anak meningkatkan
keterampilan berpikir mereka. Singkatnya, terlalu banyak terdapat sekolah di
lingkungan berpenghasilan rendah yang memberi siswa-siswa lingkungan yang tidak
kondisif untuk pembelajaran yang efektif.
3.
Diversitas Kultural
a.
Etnisitas
Kata etnis berasal dari Yunani yang berarti “bangsa”.
Etnisitas (ethnicity) merujuk pada
pola karakteristik seperti warisan budaya, kebangsaan, ras, agama, dan bahasa.
Setiap orang adalah anggota dari satu kelompok etnis atau lebih, dan hubungan
antara orang-orang dari latar belakang etnis yang berbeda, tidak hanya di
Indonesia, tetapi di setiap sudut dunia, sering dipenuhi dengan bias dan
konflik.
Di mana letak perbedaan etnisitas dan ras? Istilah ras, saat ini tidak diyakini sebagai
konsep biologis, merujuk pada klasifikasi orang-orang atau makhluk hidup lain
menurut karakteristik fisiologis tertentu. Istilah tersebut tidak pernah cocok
untuk mendeskripsikan orang-orang dalam artian ilmiah atau pun karena manusia
begitu beragam, sehingga mereka tidak masuk ke dalam kategorisasi rasial yang
dikemas dengan rapi. Jadi, ras tidak lagi diakui sebagai konsep ilmiah yang
autentik. Kata ras jarang digunakan
untuk merujuk segala sesuatu atas perilaku seseorang dengan agama atau pun
warna kulit.
Dalam budaya di Amerika tidak ada perubahan yang lebih nyata
daripada keseimbangan etnis yang berubah-uabah di antara warga negara Amerika.
Pada awal abad ke-21, sepertiga dari semua anak-anak usia sekolah masuk dalam
kategori yang saat ini dirujuk sebagai “anak-anak berwarna” (terutama
Afrika-Amerika, Latin, Asia-Afrika, dan Amerika Asli). Pada 2005, porsi itu
akan mencapai separuh. Demografi yang berubah-ubah ini tidak hanya menjanjikan
kesempurnaan yang dihasilkan oleh keberagaman, tetapi juga tantangan yang sulit
dalam menyampaikan mimpi orang Amerika kepada individu-individu dari semua
kelompok etnis. Menurut sejarah, orang-orang berwarna menemukan diri mereka
sendiri ada di bawah dari susunan sosial dan ekonomi Amerika. Dengan tidak
seimbang mereka digambarkan berada di antara orang miskin dan kurang
berpendidikan.
b.
Diskriminasi
Unsur lain yang masih
terkait dengan kultur adalah masalah diskriminasi. Diskriminasi adalah
perlakuan yang tidak adil terhadap orang atau kelompok lain. Diskriminasi
mempunyai hubungan erat dengan relasi antara kelompok yang dominan dengan yang
minoritas karena perlakuan yang tidak adil, biasanya sering berasal dari
kelompok dominan terhadap kelompok minoritas.
Perlakuan tidak adil atau tindakan diskriminatif bisa terjadi dalam berbagai
bidang kehidupan seperti ekonomi, politik, sosial, budaya, pendidikan, dan
lain-lain. Perbedaan-perbedaan kultural seperi perbedaan agama, suku, ras, klas
sosial, gender, umur, dan bahasa dapat dijadikan objek dan alasan untuk
melakukan diskriminasi oleh kelompok dominan terhadap kelompok minoritas.
Bentuk diskriminasi ada
dua macam, yaitu diskriminasi institusional dan diskriminasi individual.
Diskriminasi individual yaitu bersikap tidak adil kepada orang lain hanya
karena alasan pribadi belaka. Diskriminasi ini biasanya dilakukan oleh
individu-individu. Seorang guru tidak memperdulikan muridnya, ia tidak peduli
apakah si murid itu paham atau tidak terhadap apa yang dijelaskannya. Si guru
berbuat demikian hanya karena dia mempunyai perasaan tidak suka secara pribadi
terhadap si murid.
Sedangkan diskriminasi
institusional yaitu perlakuan tidak adil terhadap seseorang atau sekelompok
orang yang berasal dari golongan tertentu, terutama dari kelompok minoritas, di
dalam institusi-institusi atau organisasi-organisasi kepentingan maupun swasta.
Diskriminasi institusional ini biasanya dilakukan oleh sekelompok orang dari
golongan tertentu yang dominan dan sangat kuat dalam sebuah institusi sehingga
terlihat, seakan-akan, institusi itu yang melakukan diskriminasi. Di dalam
sebuah kantor pemerintahan yang mayoritas pegawainya berasal dari suku “A” maka
jabatan-jabatan strategis, terutama jabatan kepala kantor, akan selalu diduduki
oleh orang-orang yang berasal dari suku lainnya, maka ia akan mendapat
kesulitan untuk menduduki jabatan-jabatan strategis di kantor tersebut.
Diskriminasi
institusional juga dapat terjadi pada wilayah-wilayah sosial yang lebih lias
seperti desa, kecamatan, kabupaten, propinsi, dan bahkan dapat terjadi dalam
sebuah institusi negara. Contohnya, akibat telah diterapkannya sistem
pemerintahan yang sentralistik pada masa kepemimpinan Soeharto, pembangunan
dibeberapa wilayah Indonesia berjalan tidak seimbang. Pembangunan di Jawa dan
bali berkembang sangat pesat sedangkan di wilayah lainnya berlangsung sangat
lamban.
Di Jawa dan Bali,
fasilitas-fasilitas umum seperti sarana transportasi, rumah sakit dan pusat
industri tersedia dan berkembang dengan baik. Keadaan ini berdampak pada
tingkat kesejahteraan penduduknya lebih baik bila dibandingkan dengan
kesejahteraan penduduk di wilayah-wilayah lain seperti Nusa Tenggara Timur dan
Papua.
Seperti yang kita
ketahui, kedua wilayah tersebut fasilitas-fasilitas umum yang ada sangat tidak
memadai. Sarana dan prasarana transportasi sangat terbatas sehingga mobilitas
masyarakatnya terhambat. Selain itu, fasilitas kesehatan tidak layak menyebabkan
tingkat kesehatan masyarakatnya sangat buruk dan pusat industri yang sangat
terbatas menyebabkan tingkat pengangguran tinggi. Keadaan yang demikian ini
menyebabkan tingkat kesejahteraan di wilayah tersebut rendah bila dibandingkan
dengan kesejahteraan masyarakat di Jawa dan Bali. Ketimpangan pembangunan
seperti ini adalah salah satu bentuk diskriminasi institusional.
c.
Bilingualisme
Di seluruh dunia, banyak anak berbicara lebih dari satu
bahasa. Bilingualisme adalah
kemampuan untuk berbicara dalam dua bahasa. Bilingualisme mempunyai pengaruh
yang positif terhadap perkembangan kognitif anak-anak. Anak-anak yang lancar
dalam dua bahasa, mendapatkan nilai yang lebih baik dibandingkan dengan
rekan-rekan mereka yang berbicara satu bahasa, dalam tes pengendalian
perhatian, pembentukan konsep, penelaran analitis, fleksibilitas kognitif, dan
kompleksitas kognitif. Mereka juga lebih sadar akan struktur bahasa lisan dan
tertulis serta lebih baik dalam menemukan kesalahan-kesalahan tata bahasa dan
arti, keterampilan yang menguntungkan membaca mereka.
Para siswa AS, jauh tertinggal dari rekan-rekan mereka di
banyak negara maju dalam mempelajari bahasa kedua. Sebagai contoh, di Rusia,
sekolah-sekolah mempunyai 10 tingkat kelas, yang disebut forms, yang kira-kira sama dengan 12 tingkat kelas di sekolah
Amerika. Di Rusia, anank-anak mulai sekolah di usia 7 tahun dan mulai beljar
bahasa Inggris di form ketiga. Karena penekanan pada pengajaran bahasa Inggris
ini, sebagian besar warga negara Rusia di bawah usia 40 tahun pada saat ini
bisa berbicara sedikit bahasa Inggris.
Pendidikan bilingual (bilingual
education) adalah mengajarkan mata pelajaran akademis untuk anak-anak
imigran dalam bahasa ibu mereka, sementara dengan perlahan mengajarkan bahasa
Inggris. Beberapa peneliti mendukung pendidikan bilingual, di mana anak-anak
mengalami kesulitan dalam mempelajari satu mata pelajaran ketika pelajaran
tersebut diajarkan dalam bahasa yang tidak mereka megerti, dan ketika kedua
bahasa dipadukan di dalam kelas, anak-anak mempelajari bahasa kedua dengan
lebih mudah dan berpartisipasi dengan lebih aktif. Namun, banyak hasil
penelitian hanya melaporkan dukungan yang biasa saja daripada dukungan kuat
untuk pendidikan bilingual, dan beberapa pendukung pendidikan bilingual saat
ini mengakui bahwa pelajaran berbahasa Inggris yang kompeten bisa menumbuhkan
hasil yang positif untuk pelajar bahasa Inggris.
1.
Pendidikan Multikultural
a.
Gagasan Pendidikan Multikultural
Indonesia adalah salah satu negara multikultural terbesar di
dunia. Kebenaran dari pernyatan ini dapat kita lihat dari kondisi
sosio-kultural maupun geografis yang begitu beragam dan luas. Sekarang ini,
jumlah pulau yang ada di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI)
sekitar 13.000 pulau besar dan kecil. Populasi penduduknya berjumlah lebih dari
200 juta jiwa, terdiri dari 300 suku yang menggunakan hampir 200 bahasa yang
berbeda. Selain itu mereka juga menganut agama dan kepercayaan yang beragam
seperti Islam, Katolik, Kristen Protestan, Hindu, Budha, Konghucu serta
berbagai macam aliran kepercayaan.
Keragaman ini, diakui atau tidak, akan dapat menimbulkan
berbagai persoalan seperti sekarang yang dihadapi bangsa ini. Korupsi, kolusi,
nepotisme, premanisme, perseteruan politik, kemiskinan, kekerasan, separatisme,
perusakan lingkungan, dan hilangnya rasa kemanusiaan untuk selalu menghormati
hak-hak orang lain, adalah bentuk nyata sebagai bagian dari multikulturalisme
itu. Contoh yang konkrit dan sekaligus menjadi pengalaman pahit bagi bangsa ini
adalah terjadinya pembunuhan besar-besaran terhadap pengikut Partai Komunis
Indonesia (PKI) pada tahun 1965, kekerasan terhadap etnis Cina di Jakarta pada
Mei 1998, dan perang Islam dan Kristen di Maluku Utara pada tahun 1999-2003.
Rangkaian konflik itu tidak hanya merenggut korban jiwa yang sangat besar, akan
tetapi juga telah menghacurkan ribuan harta benda penduduk, 400 gereja dan 30
masjid. Perang etnis antara warga Dayak dan madura yang terjadi sejak tahun
1931 hingga tahun 2000 telah menyebabkan kurang lebih 2000 nyawa manusia
sia-sia.
Berdasarkan permasalah seperti di atas, perlu kiranya dicari
strategi khusus dalam memecahkan persoalan tersebut melalui berbagai bidang;
sosial, politik, budaya, ekonomi, dan pendidikan. Berkaitan dengan hal ini,
maka pendidikan multikultural menawarkan satu alternatif melalui penerapan
strategis dan konsep pendidikan yang berbasis pada pemanfaatan keragaman yang
ada di masyarat, khususnya yang ada pada siswa seperti keragaman etnis, budaya,
bahasa, agama, status sosial, gender, kemampuan, umur, dan ras. Dan yang
terpenting strategi pendidikan ini tidak hanya bertujuan agar supaya siswa
mudah memahami pelajaran yang dipelajarainya, akan tetapi juga untuk
meningkatkan kesadaran mereka agar selalu berperilaku humanis, pluralis, dan
demokratis.
Oleh karena itu, hal terpenting yang perlu dicatat dalam
pendidikan multikultural ini adalah, seorang guru tidak hanya dituntut untuk
menguasai dan mampu secara profesional mengajarkan mata pelajaran yang
diajarkannya. Lebih dari itu, seorang pendidik juga harus mampu menanamkan
nilai-nilai inti dari pendidikan multikultural seperti demokrasi, humanisme,
dan pluralisme.
b.
Definisi Pendidikan Multikultural
Pendidikan multikultural (multikultural
education) adalah pendidikan yang menghargai keragaman dan mencakup
perspektif dari berbagai kelompok budaya. Satu tujuan penting dari pendidikan
multikultural adalah kesempatan pendidikan yang sama untuk semua siswa,
termasuk menghapuskan perbedaan prestasi akademis antara siswa-sisa dari
kelompok mayoritas dan siswa-siswa dari kelompok minoritas.
Di amerika pendidikan multikultural muncul dari gerakan
hak-hak warga negara pada tahun 1960-an dan protes akan persamaan hak dan
keadilan sosial bagi para wanita dan orang-orang dengan kulit sewarna. Sebagai
sebuah bidang, pendidikan multikultural mencakup isu-isu yang berkaitan dengan
status sosial, ekonomi, etnisitas, dan gender. Oleh karena itu keadilan sosial
merupakan salah satu nilai dasar bidang tersebut, maka pengurangan prasangka
dan pedagogi keadilan merupakan komponen inti.
Menurut Amin Abdullah, pendidikan multikultural adalah
strategi pendidikan yang diaplikasikan pada semua jenis mata pelajaran dengan
cara menggunakan perbedaan-perbedaan kultural yang ada pada para siswa seperti
perbedaan etnis, agama, bahasa, gender, klas sosial, ras kemampuan dan umur
agar proses belajar menjadi efektif dan mudah. Pendidikan multikultural sekaligus juga untuk
membangun karakter siswa agar mampu bersikap demokratis, humanis, dan pluralis
dalam lingkungan mereka. Dengan kata lain, dapat digambarkan melalui pribahasa
“sambil menyelam minum air”. Artinya selain siswa diharapkan dapat dengan mudah
memahami, menguasai, dan mempunyai kompetensi dengan baik terhadap mata
pelajaran yang diajarkan oleh guru, siswa juga diharapkan mampu untuk selalu
bersikap dan menerapkan nilai-nilai demokratis, humanisme, dan pluralisme di
sekolah atau di luar sekolah.
Menurut Ainul Yaqin pendidikan multikultural mempunyai dua
tujuan yaitu tujuan awal dan tujuan akhir.
Tujuan awal pendidikan multikultural yaitu membangun wacana pendidikan multikultural
di kalangan guru, dosen, ahli pendidikan, pengambil kebijakan dalam dunia
pendidikan, dan mahasiswa jurusan ilmu pendidikan maupun mahasiswa umum.
Harapannya adalah apabila mereka mempunyai wacana pendidikan multikultural yang
baik maka kelak mereka tidak hanya mampu untuk membangun kecakapan dan keahlian
siswa terhadap mata pelajaran yang diajarkan. Akan tetapi juga mampu untuk
menjadi transformator pendidikan multikultural yang mampu menanamkan
nilai-nilai pluralisme, humanisme, dan demokrasi secara langsung di sekolah
kepada para peserta didiknya.
Adapun tujuan akhir pendidikan multikultural ini adalah
peserta didik tidak hanya mampu memahami dan menguasai materi pelajaran yang
dipelajarinya akan tetapi diharapkan juga bahwa para peserta didik akan
mempunyai karakter yang kuat untuk selalu bersikap demokratis, pluralis, dan
humanis.
c.
Program Pendidikan Multikultural
Secara etimologis, multikultural dibentuk dari kata multi
(banyak), kultur (budaya), dan isme (aliran atau paham). Secara hakiki dalam
kata itu terkandung pengakuan akan martabat manusia yang hidup dalam komunitas
dengan kebudayaannya masing-masing yang unik. Dengan demikian setiap indivisu
merasa dihargai sekaligus merasa bertanggung jawab untuk hidup bersama dalam
komunitasnya. Pengakuan suatu masyarakat terhadap kebutuhan untuk diakui (politich of recognition) mrupakan akar
dari ketimpangan di dalam bidang kehidupan.
Tilaar menjelaskan beberapa program priritas dalam pendidikan
multikultural, diantaranya:
1. Pendidikan multikultural didasarkan pada pendagogik, yaitu
berdasarkan kesetaraan manusia (equity
pedagogy). Pedagogik kesetaraan bukan hanya mengakui akan hak manusia
tetapi juga hak kelompok manusia, kelompok suku bangsa, kelompok bangsa untuk
hidup berdasarkan kebudayaannya sendiri. Dengan demikian diakui adanya prinsip
kesetaraan individu, antarindividu, antar bangsa, antar budaya, antar agama,
dan sebagainya.
2. Pendidikan multikultural ditujukan kepada terwujudnya manusia
Indonesia cerdas. Ppendidikan mutikultural diarahkan untuk mengembangkan
pribadi-pribadi manusia Indonesia agar menjadi manusia yang cerdas. Manusia
cerdas adalah manusia yang membuka diri dan pemikirannya yang terbatas,
menguasai, dan memanfaatkan kemajuan teknologi untuk membuka horizonnya,
mengenal dunia yang lain, budaya milik tetangganya dan budaya bangsa yang
beraneka ragam.
3. Prinsip globalisasi kebudayaan yang diharuskan untuk
mempertahankan kekuatan budaya bangsa dan menolak kebudayaan yang merusak.
Adapun program-program yang menjadi prioritas dalam pendidikan
multikultural adalah:
1. Lembaga-lembaga pendidikan sebagai pusat budaya.
Lembaga-lembaga pendidikan bukan hanya sebagai pusat belajar dan mengajar
intelektual development tetapi harus pula merupakan pusat penghayatan dan
pengembanan budaya, baik budaya lokal maupun budaya nasional bahkan budaya
lokal.
2. Pendidikan kewargaan. Dalam wadah pendidikan multikultural
titik tolaknya adalah budaya dalam lingkungan peserta didik yang kemudian akan
bermuara kepada nilai-nilai budaya nasional.
3. Kurikulum pendidikan multikultural. Sesuai dengan otonomi
pendidikan yang diberikan kepada daerah, tentunya setiap daerah menyusun
kembali kuikulum pendidikan multikultural yang dibutuhkan oleh masyarakat.
4. Kebijakan penyebaran informasi. Pendidikan pada hakikatnya
merupakan penyebaran informasi secara luas dan benar.
5. Pendidikan guru. Pelaksanaan pendidikan multikultural hanya
dapat dilaksanakan apabila guru itu sendiri adalah pemain dalam kehidupan yng
multikulturalis.
BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN
A.
Kesimpulan
Dari uraian
mengenai variasi individual dan diversi sosio cultural dapat disimpulkan bahwa:
1.
Individu berasal dari
kata individera yang berarti satu
kesatuan organisme yang tidak dapat dibagi-bagi lagi atau tidak dapat
dipisahkan. Dalam bidang pendidikan, siswa atau peserta didik yang melakukan
kegiatan belajar atau mengikuti proses pendidikan disebut sebagai individu.
2.
Setiap individu
memiliki ciri dan sifat atau karakteristik bawaan (heredity) dan karakteristik yang diperoleh dari pengaruh
lingkungan. Karakteristik bawaan merupakan sifat keturunan yang dimiliki sejak
lahir, sedangkan karakteristik yang diperoleh dari pengaruh lingkungan
merupakan hasil interaksi individu dengan sekitarnya.
3.
Garry mengategorikan
variasi individual ke dalam perbedaan fisik, sosial, kepribadian, intelegensi
dan kemampuan dasar, serta perbedaan kecakapan atau kemampuan dasar. Sedangkan
Sunarto dan Hartono mengategorikan variasi individual dalam perbedaan kognitif,
kecakapan bahasa, kecakapan motorik, latar belakang, bakat, dan kesiapan
belajar.
4.
Pengelompokan peserta
didik perlu dilakukan untuk mengatasi variasi individual dalam proses
pembelajaran. Pengelompokan yang dimaksud adalah penyatuan beberapa individu
yang memiliki kesamaan karakter dan sifat untuk tujuan tertentu.
5.
Status sosial orang tua akan sangat berpengaruh pada
lingkungan hidup dan pendidikan anaknya. Pada orang dengan status sosial
rendah, lingkungannya kebanyakan memberikan ketidakuntungan seperti kurangnya
stimulasi, ketidakteraturan, pengasuhan yang lebih bersifat autoritarian, dan
kemampuan anak yang akhirnya rendah. Sedangkan budaya yang berbeda memiliki
ekspektasi pendidikan dan perkembangan yang berbeda pada peserta didik.
6.
Pendidikan multikultural adalah pendidikan yang meninjau
perbedaan dan melihat perspektif dari masing-masing budaya dengan cara
mendasar. Tujuan pendidikan multikultural adalah memberikan kesempatan belajar
pada siswa dengan setara.
B.
Saran
Ada
beberapa saran yang mungkin dapat dipertimbangakn berkaitan dengan variasi
individual dan diversi sosio cultural, antara lain adalah;
1.
Guru diharapkan dapat lebih menghargai perbedaan-perbedaan
individu dalam pendidikan.
2.
Guru juga perlu memiliki ekspektasi prestasi yang tinggi pada
murid dari kalangan minoritas dan murid yang berlatar belakang ekonomi rendah serta
mengikutsertakan mereka ke dalam program akademis yang tepat.
3.
Guru perlu melakukan
pengelompokan yaitu penyatuan beberapa individu yang memiliki kesamaan karakter
dan sifat agar tercapainya tujuan pendidikan.
DAFTAR PUSTAKA