Sabtu, 01 Februari 2014

Tentang anak-anak yang mengalami penyimpangan perkembangan (anak berkebutuhan khusus) yang mengikuti pendidikan di SD umum (regular).



Saat ini pemerintah DKI Jakarta sedang gencar-gencarnya mencanagkan diri sebagai provinsi pendidikan inklusif. Seperti yang termuat dalam BERITAJAKARTA.COM “Sebagai bentuk perhatian terhadap pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus (ABK), Pemprov DKI Jakarta mencanangkan diri menjadi provinsi pendidikan inklusif. Dengan pencanangan ini, ke depan Pemprov DKI Jakarta menargetkan setidaknya akan menjadikan 7.000 sekolah reguler menjadi sekolah inklusif, dengan rincian 2.600 sekolah negeri dan 4.400 sekolah swasta yang tersebar di ibu kota. Kepala Dinas Pendidikan (Disdik) DKI Jakarta, Taufik Yudi Mulyanto mengatakan, kini DKI Jakarta terus mengembangkan pendidikan inklusif. Yakni pendidikan yang tidak membedakan anak berdasar kondisi fisik dan mental.”[1]
Lantas apakah yang disebut dengan anak berkebutuhan khusus itu sebenarnya? Menurut Jamaris, individu berkebutuhan khusus adalah individu yang memiliki ciri-ciri khusus di dalam perkembangannya yang berbeda dari perkembangan secara normal. Penyimpangan perkembangan tersebut dapat berbentuk penyimpangan intelegensi, yaitu intelegensi di bawah normal yang dikenal dengan individu penyandang retardasi mental, atau intelegensi di atas normal yang dikenal individu superior dan gifted.[2]
Saat ini pemerintah sedang gencar-gencarnya muntuk mensosialisasikan anak-anak yang yang berkebutuhan khusus tersebut untuk bisa mengenyam pendidikan formal sama seperti anak-anak normal lainnya yang bersekolah di sekolah umum. Dan sekolah-sekolah yang menerima dan mau memberi kesempatan bagi anak-anak istimewa ini disebur sekolah inklusif.
Mendapatkan pendidikan yang layak adalah hak semua warga negara baik bagi mereka yang dikarunia kehidupan normal dan mereka yang mendapatkan anugerah kekurangan dari Tuhan YME. Oleh karenanya pendidikan tidak harus diskriminasi dan mengakomodir pluralitas baik  masalah sosial maupun fisik. Sekolah menjadi tempat untuk mendapatkan pengetahuan  dimanapun berada tanpa memandang bentuk fisik. Sejalan dengan Hak Asazi Manusia (HAM) bahwa pendidikan adalah hak dari seluruh manusia oleh karenanya sekolah harus menyediakan tempat bagi mereka yang memiliki kebutuhan khusus, yang tentunya tenaga pendidik dan kurikulum menyesuaikan dengan kebutuhan mereka.
Menurut penulis, kita harus bisa menerima keberadaan dan kehadiran mereka yang memiliki kebutuhan khusus dengan baik, karena ini merupakan bentuk kebhinekaan. Pemerintah dalam hal ini Dinas Pendidikan harus menyediakan layanan khusus. Demikian juga kepada para siswa untuk dapatnya membantu dan menerima mereka menjadi bagian dalam kehidupan mereka sehari-hari.
Dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 70 Tahun 2009 tentang Pendidikan Inklusif Bagi Peserta Didik Yang Memiliki Kelainan Dan Memiliki Potensi Kecerdasan Dan/Atau Bakat Istimewa Pasal 1”Dalam Peraturan ini, yang dimaksud dengan pendidikan inklusif adalah sistem penyelenggaraan pendidikan yang memberikan kesempatan kepada semua peserta didik yang memiliki kelainan dan memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa untuk mengikuti pendidikan atau pembelajaran dalam satu lingkungan pendidikan secara bersama-sama dengan peserta didik pada umumnya”.[3]
Inclusive education, menurut UNESCO pendidikan inklusif mengandung arti bahwa sekolah perlu mengakomodasi kebutuhan pendidikan semua anak dengan tidak menghiraukan kondisi fisik, intelektual, sosial, emosional, bahasa, dan kondisi-kondisi lainnya. Anak-anak normal, anak-anak berkebutuhan khusus (disable dan gifted), anak-anak yang memiliki latar belakang bahasa dan etnik minoritas, anak-anak jalanan, anak-anak yang bekerja, dan anak-anak yang berasal dari keluarga tudak mampu; anak-anak di daerah terpencil atau anak-anak dari suku yang berpindah-pindah serta anak-anak yang berasal dari kondisi yang kurang beruntung lainnya perlu mendapat akses terhadap pendidikan. Oleh sebab itu, pendidikan inklusif merupakan realisasi dari komitmen yang berkaitan dengan educational for all seperti yang dicanangkan oleh UNESCO.[4]
Pendidikan inklusif menjadi isu global karena jenis pendidikan ini memberikan respon terhadap perbedaan latar belakang dan kebutuhan anak dengan jalan memberikan kesempatam pada semua anak untuk berpartisipasi dalam pendidikan. Dengan demikian menurut penulis, eksklusifitas dalam pendidikan dapat diminalisasi. Dalam penerapannya, pendidikan inklusif dilakukan dengan berbagai cara, diantaranya memberi kesempatan kepada anak kerkebutuhan khusus untuk bersekolah di sekolah umum. Oleh sebab itu, pendidikan inklufis memberikan peluang untuk memindahkan anak berkebutuhan khusus yang tadinya bersekolah di sekolah khusus atau ada di rumah dan tempat-tempat lainnya untuk bersekolah di sekolah umum.
Menurut penulis dengan adanya pendidikan inklusif tidak berarti bahwa sekolah-sekolah khusus yang telah ada dan dibutuhkan oleh individu-individu berkebutuhan khusus lainnya ditutup. Hal yang penting dalam menyelenggarakan pendidikan inklusif adalah memodifikasi sarana dan prasarana, kurikulum, proses pembelajaran, dan proses evaluasi hasil belajar yang dapat mengakomodasi kebutuhan individu berkebutuhan khusus yang bersekolah di sekolah umum. Melalui berbagai kegiatan tersebut maka pendidiakn inklusif memberikan kesempatan kepada semua anak untuk meraih kesuksesan melalui pendidikan. Melalui pendidikan inklusif, anak-anak berkebutuhan khusus dapat kemajuan di bidang keterampilan sosial dan kompetensi khusus yang dimiliki mereka.


[2] Martini jamaris, op.cit., h. 261.
[3] Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 70 Tahun 2009 tentang Pendidikan Inklusif Bagi Peserta Didik Yang Memiliki Kelainan Dan Memiliki Potensi Kecerdasan Dan/Atau Bakat Istimewa, Pasal 1.
[4] UNESCO, The Salamanca World Conference on Special Needs Education: Access and Quality, UNESCO and the Ministry of Education (Spain, Paris: UNESCO, 1994).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar